Untuk urusan cultural shock, hampir semua mahasiswa internasional pasti merasakannya. Mulai saat turun dari pesawat, culture shock sudah bi...
Untuk urusan cultural shock, hampir semua mahasiswa internasional pasti merasakannya. Mulai saat turun dari pesawat, culture shock sudah bisa dirasakan. Merasa stres, cemas, atau bingung saat bulan pertama perkuliahan di luar negeri. Hal ini lumrah terjadi oleh mereka yang menginjakkan kaki di tempat baru. Karena bagaimanapun, tanpa sadar kita membawa budaya, dan kebiasaan dari negara kita sendiri. Ketika memasuki lingkungan baru, kita menyadari bahwa beberapa hal berbeda dan kita harus belajar menyesuaikan diri.
Misalnya, cara makan dan minum atau cara menggunakan fasilitas umum yang tampaknya sepele ternyata bisa mengakibatkan stress. Dari hal yang sepele itu sampai hal yang cukup sensitif, seperti memakai jilbab di negara yang mayoritas penduduknya atheis.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan jika kita mengalami culture shock? Sebelum memutuskan pergi berkuliah ke luar negeri, pelajari sebanyak mungkin mengenai negara tujuan kita lewat berbagai sumber. Salah satu cara terampuh yang bisa dilakukan untuk setidaknya mengurangi culture shock antara lain dengan mempunyai teman dari Indonesia yang sudah tinggal di sana untuk kita ajak diskusi. Hal ini akan sangat membantu kamu saat pertama kali sampai di negeri asing.
Beberapa ahli psikologi menyatakan, ada lima tahapan yang akan dialami seseorang saat mereka menghadapi gegar budaya atau culture shock, yaitu:
1. Fase Minggu Pertama
Minggu pertama, kamu akan merasa semua hal berjalan mulus dan menyenangkan. Hal-hal baru akan membuatmu merasa gembira. Hal ini biasanya ditandai dengan foto narsis kemudian di upload di social media seperti facebook dan twitter.
Kamu merasa segala hal baru yang kamu temukan terlihat begitu seru. Kamu semangat menyadari bahwa kamu sudah berada di luar negeri. Di tempat yang sudah lamu kamu idamkan. Hal ini sangat wajar. Kita selalu antusias terhadap hal-hal yang baru kita temui.
2. Fase Penolakan
Pada minggu berikutnya, hal-hal kecil seperti makan, transportasi, beribadah, dan urusan belanja seringkali mengganggu aktivitas kamu. Hal ini dikarenakan tidak lain dan tidak bukan adalah persoalan perbedaan budaya. Akibatnya, kita mulai sering mengeluhkan situasi di negara baru atau membanding-bandingkannya dengan negara kita.
Kita akan melihat bahwa kita berada di tempat yang salah. Semuanya terlihat aneh. Kenapa semua begini dan begitu? Kamu sering bertanya-tanya tentang perilaku sosial di sekeliling kamu.
Kamu harus hati-hati benar saat berada di fase ini. Banyak orang yang memutuskan untuk pulang (menyerah) hanya karena hal-hal sepele.
3. Fase Kompromi
Memasuki bulan kedua, kita mulai memahami budaya, nilai-nilai moral, dan kebiasaan baru di lingkungan kita. Kita mulai bisa bertoleransi dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Kuncinya adalah menghargai perbedaan. Kita harus sadar bahwa perbedaan itu pasti ada. Kita harus memahami dan menghargai perbedaan tersebut. Dilihat dari sisi yang lain, kita adalah seorang minoritas. Orang-orang asli di sana juga akan menganggap kita berbeda dari mereka.
Jadi jangan sampai malahan kita yang dianggap aneh oleh mereka. Kita harus belajar untuk berkompromi dengan hal-hal baru, walaupun kadang kedengarannya aneh.
4. Fase Adaptasi
Makin lama kita berada di lingkungan baru, kita sudah bisa menerima kebiasaan, adat, pola pikir, bahkan makanan di negara baru. Kita bisa menerima bahwa tidak ada budaya baik atau buruk, yang ada hanya perbedaan dan pengertian. Bahkan, ketika kita pulang ke Indonesia, kita justru akan merindukan berbagai hal yang kita temui saat berada di negeri orang.
Fase adaptasi ini wajib kamu lakukan dengan sukses. Tanpa adaptasi yang baik kamu akan merasa tiadk nyaman tinggal di negara tersebut.
5. Fase Comfort Zone
Ini adalah fase dimana kita sudah bisa bersatu dan bisa bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Kenalan kita sudah banyak, kita sering diundang mengikuti acara masyarakat setempat, dan kita sudah tidak terlalu tergantung dengan teman kita yang asalnya satu negara dengan kita.
Itu adalah beberapa fase yang umumnya dilewati oleh orang yang baru menginjakkan kakinya di tempat baru bahkan walaupun itu masih di dalam negeri.
Namun, ada kalanya orang baru satu bulan di suatu negara, ia sudah bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Salah-satu nara sumber Interview kami, Sairindri Gita, mengatakan bahwa ia sangat bersyukur bisa mengikuti program exchange di Irlandia. Indri adalah mahasiswa asal Indonesia yang mengambil kuliah S1 Hubungan Internasional di universitas Bilkent, Turki, angkatan 2011. Saat kami menginterview Indri, ia sedang mengikuti program exchange dari Erasmus Mundus di Limerick, Irlandia.
"Barangkali Irlandia tidak populer dalam hal pendidikan. Tidak heran kalau di kampus saya di Irlandia ini, saya adalah satu-satunya orang Indonesia yang ada di kampus ini. Tetapi, saya tidak pernah merasa sendirian karena mahasiswa disini sangat ramah dan helpfull," Kata Indri dalam sesi interviewnya.
Indri yang baru satu bulan tinggal di Irlandia mengaku sangat nyaman berada di lingkungan barunya tersebut, meskipun hanya dirinya yang berasal dari Indonesia. Tips dari Indri, jangan pernah malu bertanya dan jangan malu berbicara. Karena kalau sudah malu, nanti kita akan kerepotan sendiri.
Bagaimana? Sudah tidak khawatir lagi kan? Jangan pernah menganggap culture shock sebagai sosok yang menyeramkan. Konsep datang ke tempat baru, kemanapun itu adalah sama. Kita memang harus bisa saling memahami, menghargai dan adaptasi dengan lingkungan baru tersebut.
Jalani semua hal di atas tanpa tekanan. Kita harus selalu berfikir positif menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Jika kita selalu berfikir positif maka kita akan selalu bahagia.
Kita perlu paham, kemanapun kita pergi ke tempat baru, kita sendirilah yang perlu adaptasi. Hal ini karena kitalah orang baru di tempat tersebut. Sebagai minoritas, kita harus bisa menjaga perasaan penduduk setempat.