Kontributor : Budi Waluyo Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright, Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & ...
Kontributor :
Budi Waluyo
Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright,
Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & Mahasiswa PhD di Lehigh University,USA
Penulis buku The Mancunian Way & Untukmu Scholarship Hunters
Kuliah di luar negeri itu bukan jaminan kalau hidup kita bakal berubah 100%, atau kita bakal menjadi manusia super jenius, hebat, keren, dan lain sebagainya. Eventually, kuliah di luar ataupun di dalam negeri, kualitas diri kitalah yang menentukan prestasi & kontribusi seperti apa yang bisa diraih atau doberikan.
Kita tidak perlu punya otak pintar untuk bisa meraih sesuatu, tapi kita perlu ketekunan dan fokus kerja di hal-hal yang menjadi prioritas impian kita. Ingat, tetesan air yang lembut bisa melobangi sebuah batu yang keras bila tetesannya jatuh terus menerus diatas batu itu.
Rasanya, otak kita tidak sekeras batu hingga tak bisa ditembus ilmu, bukan? So, pasti bisa belajar saja, cuma ada proses yang harus dilalui, butuh wktu.
Fokus ke satu hal. Bangun karakter diri orang menggapai hal yang diimpikan itu. Dapat atau tidak nanti, kita sudah menggapai melalui kualitas diri. Jadi, sekarang bangunlah kualitas diri seperti yang diinginkan, F.O.K.U.S. Pilah apa yg dibaca/dilihat & didengar, perhatikan kualitasnya.
Saya dulu benci dan bodoh dalam bahasa Inggris. Otak pas-pasan. Badan kecil. Tampang biasa. Berasal dari keluarga yang kebanyakan putus sekolah. Tapi, dari kecil saya fokus ke satu 1 hal: Saya harus sekolah setinggi-tingginya. Saya simpan tujuan itu dalam hati. Semua aktivitas arahnya kesana.
Alhamdulillah, saya dulu bisa kuliah S2 di Inggris dan sekarang S3 di Amerika, semuanya dengan beasiswa, dari Ford Foundation dan Fullbright. Padahal, dulu saya merasa sangat bodoh dan membenci bahasa Inggris, mau tahu ceritanya?
Saya mulai belajar bahasa inggris ketika masuk kelas 1 SMP. Di pelajaran lain, saya bisa mendapatkan nilai yang tinggi, tetapi tidak untuk bahasa Inggris. Entahlah, otak saya seperti berhenti bekerja ketika berhadapan dengan pelajaran bahasa Inggris. Nilai bahasa Inggris saya selalu mengecewakan walaupun saya tetap masuk rangking 10 besar.
Pernah waktu kelas 2 SMP, saya punya seorang guru bahasa Inggris yang ‘killer’. Setiap kali masuk kelas, si guru akan memberikan latihan soal di papan tulis. Siapa yang mau nilai, harus maju mengerjakan soal itu.
Saat itu saya bingung, nggak maju nggak dapat nilai, tapi kalau maju, nggak tahu mau apa jawabannya. Akhirnya, saya menggunakan cara yang sedikit licik:
Saat guru sedang menuliskan soal di papan tulis, saya dekati teman yang sedang mengerjakan soal di buku tulisnya. Saya lihat, kemudian saya maju sebelum si teman maju. Dengan begitu saya dapat nilai. Jangan ditiru ya. Hehe.
Masuk SMA, saya semakain membenci bahasa inggris dan semakin bodoh. Guru saya waktu kelas 1 SMA adalah orang Jawa. Kami ribut, dia diam saja. Kami keluar masuk, dia cuek. Setiap kali pelajaran bahasa Inggris, saya pindah duduk ke belakang dan menegakkan buku.
Tahu apa yang saya lakukan? Bukan tidur, melainkan bermain catur. Bahkan, kami sekelas membuat sebuah liga catur yang dimainkan setiap pelajaran bahasa Inggris.
Ketika naik kelas 2 SMA, ketemu dengan guru itu lagi. Semakin berlanjut main caturnya. Catur kecil yang magnet itu. Saat naik kelas 3, saya dan sesama teman main catur bingung: Kalau tidak paham bahasa Inggris tidak akan bisa lulus Ujian Nasional.
Setiap kata yang dijelaskannya saya dengar dan saya catat. Di rumah saya buka kembali buku catatan saya. Sekitar 3 bulanan les, di kelas saya ada ujian bulanan.
Di kelas saya ada satu orang yang dianggap paling pintar bahasa Inggris. Saya iri padanya karena banyak cewek-cewek minta tolong padanya. Pasti di kelas kalian ada orang yang seperti ini. Sakitnya tuh disini, hehe!
Nah, pada saat mengikuti ulangan bulanan itulah perubahan terjadi dalam diri saya. Ketika guru membagikan soal, saya mengerjakannya cepat sekali, hingga saya bingung apakah itu karena saya yang memang bodoh atau soalnya yang terlalu mudah.
Beberapa hari kemudian, sang guru membagikan hasil ulangan itu. Tahu apa yang terjadi?
Saya terkejut, kemudian tersenyum melihat nilai saya. Baru belajar 3 bulan sudah bisa dapat 10, gimana kalau saya belajar bertahun-tahun. Berarti bahasa Inggris ini mudah. Sejak itulah, saya memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan S1 bahasa Inggris di Unib.
Namun, sayangnya semua kebencian saya pada bahasa Inggris harus dibayar mahal saat saya mulai menyukainya. Ketika lulus SMA & mengikuti tes seleksi PT, saya harus mengerjakan soal IPS karena bahasa Inggris di dalam bidang IPS, padahal saya jurusan IPA.
Alhamdulillah, setelah belajar 2 minggu tanpa keluar rumah selain ke Masjid, saya berhasil lulus di jurusan pendidikan bahasa Inggris Unib. Waktu itu, saya satu-satunya dari SMA saya yang lulus. Sempat juga dibilang gila oleh teman-teman karena tidak pernah ke luar rumah 2 minggu itu.
Saat mengikuti Ospek, saya tidak mengerti sama sekali penjelasan dosen-dosen yang menggunakan bahasa Inggris.
Gimana bisa mengerti, jam bahasa Inggris malah main catur. Mungkin saya bisa dapat nilai tinggi itu karena daya ingat saya cukup bagus. Di dalam ruangan kelas itu (Ospek), saya melongok saja, dosen lancar menjelaskan pakai bahasa Inggris.
Saya pikir semua teman juga mengalami hal yang sama, tidak mengerti apa yang dibicarakan dosen. Jadi, saya nyantai aja.. ternyata tidak.
Mereka bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris. Saya aja nggak ngerti apa yang dibicarakan, mereka sudah bisa ngomong. Saat itu saya langsung tersadar kalau saya sudah ketinggalan jauh dan harus melakukan percepatan.
Bayangan bakal menjadi mahasiswa abadi pun langsung muncul di kepala. Nggak bisa bahasa Inggris, kuliah jurusan bahasa Inggris, gimana tuh?
Walaupun sebenarnya kita kuliah di jurusan tertentu karena ingin belajar tentang itu. Kalau sudah pintar, buat apa kuliah di bidang itu, benar nggak? Hehe cari alasan.
So, mau nggak mau saya harus melakukan percepatan. Cara biasa tidak bisa mengejar ketertinggalan saya. Logikanya, kalau teman saya satu langkah, kemudian saya juga satu langkah dengan posisi di belakang mereka, saya akan selalu tertinggal.
Saya harus mencari cara bagaimana agar bisa satu langkah teman, tiga langkah saya. Percepatan!
But how? Tetapi bagaimana?
Nah, saat itu saya menemukan satu teori dari Aa' Gym. Namanya teori kupu-kupu. Teori inilah yang mengantarkan perubahan besar dalam hidup saya. Teori yang menurut saya berpengaruh sekali dalam kesuksesan saya memenangkan beasiswa.
So, kalau kalian benci dan bodoh di pelajaran Bahasa Inggris, ingatlah cerita saya ini, berarti kalian sedang disiapkan untuk ke luar negeri. Kalau kalian sudah pintar Bahasa Inggris, masa kalah dengan saya yang dulu benci dan bodoh di bahasa Inggris, bisa ke Inggris & Amerika dengan beasiswa.
Dimanapun posisi kamu, suka ataupun benci, bodoh ataupun pintar, keep moving forward, stay focused on your goal.
Editor : Rizqi Akbar Syah
Budi Waluyo
Penerima beasiswa S2 IFP Ford Foundation, USA & S3 Fulbright,
Alumni Unib, Univ. of Manchester, UK, & Mahasiswa PhD di Lehigh University,USA
Penulis buku The Mancunian Way & Untukmu Scholarship Hunters
Budi Waluyo - Facebook |
Kita tidak perlu punya otak pintar untuk bisa meraih sesuatu, tapi kita perlu ketekunan dan fokus kerja di hal-hal yang menjadi prioritas impian kita. Ingat, tetesan air yang lembut bisa melobangi sebuah batu yang keras bila tetesannya jatuh terus menerus diatas batu itu.
Rasanya, otak kita tidak sekeras batu hingga tak bisa ditembus ilmu, bukan? So, pasti bisa belajar saja, cuma ada proses yang harus dilalui, butuh wktu.
Fokus ke satu hal. Bangun karakter diri orang menggapai hal yang diimpikan itu. Dapat atau tidak nanti, kita sudah menggapai melalui kualitas diri. Jadi, sekarang bangunlah kualitas diri seperti yang diinginkan, F.O.K.U.S. Pilah apa yg dibaca/dilihat & didengar, perhatikan kualitasnya.
Saya dulu benci dan bodoh dalam bahasa Inggris. Otak pas-pasan. Badan kecil. Tampang biasa. Berasal dari keluarga yang kebanyakan putus sekolah. Tapi, dari kecil saya fokus ke satu 1 hal: Saya harus sekolah setinggi-tingginya. Saya simpan tujuan itu dalam hati. Semua aktivitas arahnya kesana.
Mas Budi bersama teman-teman dan Profesornya - Facebook |
Saya mulai belajar bahasa inggris ketika masuk kelas 1 SMP. Di pelajaran lain, saya bisa mendapatkan nilai yang tinggi, tetapi tidak untuk bahasa Inggris. Entahlah, otak saya seperti berhenti bekerja ketika berhadapan dengan pelajaran bahasa Inggris. Nilai bahasa Inggris saya selalu mengecewakan walaupun saya tetap masuk rangking 10 besar.
Pernah waktu kelas 2 SMP, saya punya seorang guru bahasa Inggris yang ‘killer’. Setiap kali masuk kelas, si guru akan memberikan latihan soal di papan tulis. Siapa yang mau nilai, harus maju mengerjakan soal itu.
Saat guru sedang menuliskan soal di papan tulis, saya dekati teman yang sedang mengerjakan soal di buku tulisnya. Saya lihat, kemudian saya maju sebelum si teman maju. Dengan begitu saya dapat nilai. Jangan ditiru ya. Hehe.
Masuk SMA, saya semakain membenci bahasa inggris dan semakin bodoh. Guru saya waktu kelas 1 SMA adalah orang Jawa. Kami ribut, dia diam saja. Kami keluar masuk, dia cuek. Setiap kali pelajaran bahasa Inggris, saya pindah duduk ke belakang dan menegakkan buku.
Tahu apa yang saya lakukan? Bukan tidur, melainkan bermain catur. Bahkan, kami sekelas membuat sebuah liga catur yang dimainkan setiap pelajaran bahasa Inggris.
Ketika naik kelas 2 SMA, ketemu dengan guru itu lagi. Semakin berlanjut main caturnya. Catur kecil yang magnet itu. Saat naik kelas 3, saya dan sesama teman main catur bingung: Kalau tidak paham bahasa Inggris tidak akan bisa lulus Ujian Nasional.
Salah satu teman menyarankan untuk minta les pada salah satu guru yang dianggap bagus dua kali seminggu. Di les itulah, entah mungkin karena sangat takut tidak lulus Ujian Nasional, saya tekun sekali memperhatikan penjelasan sang guru.
Setiap kata yang dijelaskannya saya dengar dan saya catat. Di rumah saya buka kembali buku catatan saya. Sekitar 3 bulanan les, di kelas saya ada ujian bulanan.
Di kelas saya ada satu orang yang dianggap paling pintar bahasa Inggris. Saya iri padanya karena banyak cewek-cewek minta tolong padanya. Pasti di kelas kalian ada orang yang seperti ini. Sakitnya tuh disini, hehe!
Mas Budi bersama rekan-rekan kuliah di Amrika - Facebook |
Beberapa hari kemudian, sang guru membagikan hasil ulangan itu. Tahu apa yang terjadi?
Teman saya yang pintar bahasa inggris itu dapat 9 dan saya... dapat 10.
Saya terkejut, kemudian tersenyum melihat nilai saya. Baru belajar 3 bulan sudah bisa dapat 10, gimana kalau saya belajar bertahun-tahun. Berarti bahasa Inggris ini mudah. Sejak itulah, saya memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan S1 bahasa Inggris di Unib.
Namun, sayangnya semua kebencian saya pada bahasa Inggris harus dibayar mahal saat saya mulai menyukainya. Ketika lulus SMA & mengikuti tes seleksi PT, saya harus mengerjakan soal IPS karena bahasa Inggris di dalam bidang IPS, padahal saya jurusan IPA.
Mas Budi Waluyo bersama rekan kuliahnya, José Gnangnon, di Lehigh University - Facebook |
Saat mengikuti Ospek, saya tidak mengerti sama sekali penjelasan dosen-dosen yang menggunakan bahasa Inggris.
Gimana bisa mengerti, jam bahasa Inggris malah main catur. Mungkin saya bisa dapat nilai tinggi itu karena daya ingat saya cukup bagus. Di dalam ruangan kelas itu (Ospek), saya melongok saja, dosen lancar menjelaskan pakai bahasa Inggris.
Saya pikir semua teman juga mengalami hal yang sama, tidak mengerti apa yang dibicarakan dosen. Jadi, saya nyantai aja.. ternyata tidak.
Ketika pembawa acara membuka sesi tanya jawab, satu persatu teman berdiri & bertanya, memang rata-rata mereka lulusan SMA favorit. Saya kaget bukan main.
Mereka bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris. Saya aja nggak ngerti apa yang dibicarakan, mereka sudah bisa ngomong. Saat itu saya langsung tersadar kalau saya sudah ketinggalan jauh dan harus melakukan percepatan.
Bayangan bakal menjadi mahasiswa abadi pun langsung muncul di kepala. Nggak bisa bahasa Inggris, kuliah jurusan bahasa Inggris, gimana tuh?
Walaupun sebenarnya kita kuliah di jurusan tertentu karena ingin belajar tentang itu. Kalau sudah pintar, buat apa kuliah di bidang itu, benar nggak? Hehe cari alasan.
So, mau nggak mau saya harus melakukan percepatan. Cara biasa tidak bisa mengejar ketertinggalan saya. Logikanya, kalau teman saya satu langkah, kemudian saya juga satu langkah dengan posisi di belakang mereka, saya akan selalu tertinggal.
Saya harus mencari cara bagaimana agar bisa satu langkah teman, tiga langkah saya. Percepatan!
But how? Tetapi bagaimana?
Picking Pumpkins for the Halloween - di Bethlehem, Pennsylvania |
So, kalau kalian benci dan bodoh di pelajaran Bahasa Inggris, ingatlah cerita saya ini, berarti kalian sedang disiapkan untuk ke luar negeri. Kalau kalian sudah pintar Bahasa Inggris, masa kalah dengan saya yang dulu benci dan bodoh di bahasa Inggris, bisa ke Inggris & Amerika dengan beasiswa.
Dimanapun posisi kamu, suka ataupun benci, bodoh ataupun pintar, keep moving forward, stay focused on your goal.
Editor : Rizqi Akbar Syah