Mutu pendidikan suatu bangsa merupakan cerminan dari bangsa tersebut. Jika pendidikannya berkualitas, maka bisa dipastikan bangsa tersebut ...
Mutu pendidikan suatu bangsa merupakan cerminan dari bangsa tersebut. Jika pendidikannya berkualitas, maka bisa dipastikan bangsa tersebut merupakan bangsa yang besar dan menghargai pendidikannya. Salah satu tolok ukur yang menjadi keberadaban bangsa adalah kualitas pendidikannya yang bermutu Indonesia. Sebagai salah satu negara yang berkembang, tingkat pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Sistem pendidikan yang masih berpusat di Kota merupakan problema bangsa ini yang hingga saat ini belum tuntas juga. Pendidikan yang tidak merata, khususnya di daerah terpencil seakan seperti mata rantai yang tak pernah putus ujungnya.
Image Credit |
Pendidikan merupakan tonggak suatu bangsa yang tidak bisa di tawar lagi. Jika pendidikannya baik, maka di jamin generasi penerus bangsa akan bisa meneruskan segala problema bangsa ini dengan baik pula. Sebagai generasi muda, ayo kita turut membangun mutu pendidikan yang lebih baik tentunya.
Sebenarnya apa saja yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia berkurang? Temukan dan simak fakta berikut ini :
Pembelajaran hanya terpaku pada buku
Sistem yang hanya berpaku pada buku paket inilah yang perlu di ubah persepsinya. Sebuah buku memang diperlukan sebagai bagian dari proses belajar mengajar, namun tidak harus berpaku pada buku tersebut. Selama ini, mahasiswa hanya berkutat dengan buku-buku yang sudah di tentukan oleh para pendidik.
Sehingga mahasiswa tidak memiliki wawasan yang luas dan hanya berkutat pada seputar buku tersebut. Sudah sebaiknya sistem ini diubah. Pembelajaran yang baik adalah pelajaran yang berasal dari sumber manapun. Dengan catatan sumber referensi tepercaya. Di zaman teknologi yang serba canggih seperti saat ini, mencari informasi dan referensi bisa secepat kilat. Dengan hanya bermodal koneksi internet, semua bisa didapatkan.
Maka jangan heran jika saat ini generasi bangsa ini menjadi menjadi malas membaca.
Kehadiran buku paket, hanya akan menjadi buku formal dan hanya sebagai kewajiban yang semata-mata dibeli oleh siswa yang bersangkutan. Jika sudah begitu, jangan harap siswa akan membaca buku tersebut. Mayoritas guru akan mewajibkan siswa tersebut untuk membeli buku. Hal inilah yang salah. Karena nantinya siswa akan berpikir akan mendapat nilai jelek jika tidak membeli buku tersebut.
Sekilas menilik pembelajaran di Indonesia belakangan ini, beberapa tahun sebelumnya sudah mengalami beberapa perubahan. Mulai dari beberapa kurikulum dari KBK hingga menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun, adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak jaman dulu masih memakai kurikulum buku paket.
Sejak era 60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, pendidik hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi “ACUAN” pengajaran guru. Sebagian Guru Tidak pernah mencari sumber referensi lain sebagai acuan belajar.
Hingga kini diterapkanlah kurikulum baru. Yakni, Kurikulum 2013 yang menjadi acuan pembelajaran saat ini. Kurikulum yang dicetuskan mantan Menteri Pendidikan, Moh. Nuh ini banyak menuai protes karena tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Siswa dituntut untuk lebih lama di sekolah dengan berbagai kegiatan akademik yang berjalan hingga sore hari. Sistem Pekerjaan Rumah (PR) yang begitu banyak sehingga membuat siswa jenuh.
Belum lagi, dengan masalah guru yang bersangkutan. Guru juga dituntut hanya sebagai fasilitator saja di dalam pembelajaran. Hal ini memang mendorong siswa menjadi aktif, namun tidak menutup kemungkinan siswa hanya akan menjadi generasi 'copas' (copy paste). Karena siswa akan berpikir dengan menempuh cara yang mudah dan cepat, yakni mencari sumber referensi dari web apapun. Padahal informasi tersebut belum tentu merupakan sumber referensi yang bisa dipercaya dan belum tentu benar.
Pembelajaran hanya diterpakan dengan 'Metode Ceramah'
Fenomena yang terjadi saat ini di tingkat sekolah adalah masih diterapkannya pembelajaran dengan metode sistem ceramah yang kurang efektif. Metode ceramah memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja pada sistem pembelajaran.
Jika sudah memasuki bab yang akan dibahas, metode dengan menggunakan sistem diskusi tentu lebih baik untuk diterapkan. Dari diskusi inilah, siswa akan di ajak untuk meningkatkan kemampuan nalarnya lebih luas lagi. Berbeda dengan metode ceramah, hanya akan membuat siswa menjadi mengantuk. Bukannya bisa menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru, siswa akan cenderung lupa atau bahkan tidak mengeri sama sekali terhadap apa yang guru sampaikan.
Mungkin metode pembelajaran yang menjadi favorit sebagian guru hanya satu, yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar di kuasai sebagai besar guru.
Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar? Atau, pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin hanya satu alasannya, yaitu Biaya. Lagi dan lagi terkendala dengan masalah biaya.
Mungkin, sebagian guru berpikir, dengan menuntaskan tugasnya untuk mengajar, hal itu sudah lebih dari cukup karena tidak ada anggaran dana untuk hal itu. Di sinilah kesejahteraan seorang guru perlu dipertimbangkan. Karena guru merupakan generasi pencetak bangsa.
Guru hanya menyampaikan apa yang ia ketahui tanpa mendapatkan feedback dari anak didiknya. Sehingga siswa cenderung menelan begitu saja informasi yang diterimanya. Apakah ini merupakan suatu pembelajaran yang efektif ? Tentu saja tidak, karena siswa hanya sebagai penerima informasi, bukan sebagai anak didik yang bisa mengembangkan ilmunya lebih luas lagi.
Metode ceramah memang sangat baik diterapkan guna memberikan contoh dan informasi yang akan disampaikan kepada siswa. Namun, metode ceramah ini sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat. Misalnya, pada saat diskusi, jika ada siswa yang kurang mengerti maka siswa tersebut meminta penjelasan lebih lanjut pada guru yang bersangkutan. Inilah saatnya guru memberikan cerah secara lengkap dan jelas mengenai mata pelajaran yang tidak dimengerti.
Kurangnya sarana belajar
Fasilitas turut menunjang di dalam proses kegiatan Belajar Mengajar. Jika tekad belajar sudah bulat namun tidak didukung oleh fasilitas, tentu akan sia-sia jadinya. Bisa di lihat, dari sarana dan prasarana yang kurang terjadi di sekolah-sekolah terpencil. Berbeda halnya yang terjadi di kota-kota besar. Dengan fasilitas yang cukup lengkap dan memadai, mereka bisa mengenyam pendidikan dengan baik.
Kesadaran pemerintah dalam meningkatkan fasilitas sarana belajar perlu dipertanyakan. Setiap sekolah berhak mendapatkan fasilitas yang lebih baik tentunya, begitu juga dengan siswa. Setiap siswa juga berhak mendapatkan fasilitas yang memadai guna menunjang proses pembelajarannya. Sekolah-sekolah di daerah terpencil juga sangat membutuhkan sarana belajar yang memadai juga. Segala aspek keterbatasan yang ada di dalamnya, perlu menjadi perhatian kita semua untuk membangun dan mengembangkan sarana yang lebih baik.
Jika sarana belajar terbatas, maka kegiatan belajar mengajar juga akan akan terbatas. Sebagai contoh: Suatu sekolah di daerah yang membutuhkan perpustakaan, sebagai sarana penunjang belajar tidak terpenuhi. Maka bisa dipastikan kegiatan belajarnya juga akan sangat terbatas. Karena kurangnya sumber referensi yang bisa dijadikan rujukan dalam proses belajar.
Lain halnya dengan fasilitas sekolah-sekolah yang ada di kota. Segalanya tersedia di sana. Bukan hanya sekedar perpustakaan, di kota-kota besar sekolahnya telah dilengkapi dengan perpustakaan digital yang super canggih. Bukan hanya sekedar perpustakaan, melainkan juga fasilitas laboratorium yang super lengkap. Inilah letak perbedaan yang yang signifikan antar sekolah di daerah dan sekolah di perkotaan. Tugas besar yang hingga hari ini masih menjadi tugas kita semua.
Image Credit |
Peraturan yang terlalu mengikat
Peraturan diterapkan yang selama ini di terapkan di sekolah-sekolah cenderung mengikat siswa dalam peraturan yang di buat oleh sekolah. Peraturan berfungsi sebagai suatu pedoman yang mengatur siswa. Peraturan memang penting, namun tidak seharusnya bersifat mengikat. Siswa boleh diberi kebebasan namun harus sesuai norma-norma yang berlaku.
Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun, apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang “membelenggu” kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya.
Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada loh RPP dijual bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu” guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan lainnya
Guru tidak menanamkan soal "Bertanya"
Suatu proses pendidikan yang sukses, diawali dengan siswa atau mahasiswa yang sangat aktif. Di Indonesia, hal bertanya masih jarang di terapkan. Padahal, bertanya merupakan jalan siswa untuk memahami materi pelajaran yang disampaikan lebih dalam. Melalui bertanya semua yang masih belum jelas menjadi lebih jelas atau mungkin bisa di kembangkan lagi lebih luas
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days.
Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya.
Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja. Hal ini bisa saja terbawa hingga ke Pendidikan Tinggi. Rasa respect terhadap suatu materi pelajaran sangat kurang. Sehingga siswa cenderung cuek terhadap apa yang di sampaikan gurunya.
Fenomena cuek terhadap suatu materi pelajaran, banyak terjadi di bangku perkuliahan. Biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki rasa ingin tahu yang lebih luas. Jika sudah begini, siapa yang patut disalahkan? tidak ada yang tahu. Namun, bukan tugas kita untuk saling menyalahkan.
Tugas kita adalah memperbaiki sistem pembelajaran yang masih kurang efektif ini. Bertanya merupakan jembatan siswa dalam memahami materi pelajaran yang di sampaikan oleh guru yang bersangkutan. Jadi, pada zaman sekarang tidak lagi belaku pepatah “Malu Bertanya Sesat di Jalan”, melainkan Malu Bertanya tidak akan Paham”
Metode pertanyaan terbuka tidak dipakai
Apa itu metode pertanyaan terbuka? Metode pertanyaan terbuka merupakan metode ujian dengan memberikan soal, tetapi mahasiswa boleh menjawab soal tersebut dengan membaca buku. Metode ini ini diterapkan oleh negara Finlandia dan merupakan salah satu ciri dari negara tersebut.
Sebagai negara yang menduduki peringkat pertama pada kualitas pendidikannya, Finlandia tidak takut untuk menerapkan metode tersebut. Sebaliknya menuai kesuksesan. Terbukti, dengan ditempatkannya negara tersebut pada posisi teratas dalam kualitas pendidikannya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia masih terkesan takut dalam menerapkan sistem pertanyaan terbuka ini. Pendidik seakan takut dan berpikir mahasiswanya nanti akan banyak yang menyontek. Pendidik di Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira alasan pendidik pada zaman sekarang.
Jika hanya jalan mudah yang di pikirkan tanpa memperhatikan aspek yang lebih luas, yakni aspek pemahaman siswa, maka pendidikan di Indonesia tidak akan pernah maju. Metode pertanyaan terbuka merupakan sistem pendidikan baru yang bisa di terapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan sistem ini, memungkinkan siswa lebih memiliki daya berpikir yang kreatif dan bisa mengembangkan ilmu yang didapatnya. Siswa tidak harus terpaku pada soal-soal yang di berikan melainkan bisa menjawab soal dengan daya pirnya sendiri.
Kebiasaan menjawab soal dengan metode menghafal sudah sangat sering diterapkan di Indonesia. Sistem menjawab soal dengan seperti ini cenderung membebani para siswa. Siswa di tuntut untuk selalu mengingat sesuai dengan yang ada di buku. Padahal daya ingat sifatnya terbatas. Sehingga metode ujian pertanyaan terbuka ini sangat tepat bila di terapkan di Indonesia.
Siswa-siswi di seluruh Indonesia akan menyambut dengan antusias metode menjawab dengan pertanyaan terbuka ini. Hal ini dikarenakan pikiran siswa akan enjoy dalam menjawab soal-soal yang di ajukan.
Menerapkan budaya metode pertanyaan terbuka, memang tidak harus selalu diterapkan secara instan. Bisa dengan metode perlahan-lahan agar siswa tidak kaget jika metode pertanyaan terbuka ini di terapkan. Sebenarnya budaya metode pertanyaan terbuka sudah bisa diterapkan di Indonesia, namun realisasinya masih dalam tahap wacana.
Selain itu, dengan adanya metode pertanyaan terbuka seorang siswa juga akan dituntut untuk memahami buku lebih luas. Secara otomatis, metode pertanyaan terbuka ini mendorong siswa untuk gemar membaca.
Budaya 'Menyontek'
Terakhir, adalah fakta tentang 'menyontek'. Satu kata yang mungkin sudah mendarah daging pada generasi terdidik bangsa ini. Fenomena menyontek seakan bukan lagi menjadi hal yang tabu pada saat ujian. Menyontek merupakan suatu tindakan yang bertujuan mencari jawaban dengan cara bisa bertanya kepada teman atau pun dengan cara membuat catatan kecil yang disimpan di dalam saku.
Sebenarnya hal apa sih yang membuat seseorang menyontek? Menyontek dilakukan karena orang tersebut merasa tidak bisa menjawab atas pertanyaan yang diajukan atau mungkin orang tersebut merasa kurang yakin atas jawaban yang dibuatnya sendiri. Kebiasaan menyontek ini bisa hadir karena sejak kecil kita telah di tanamkan untuk menyontek. Kebiasaan-kebiasaan pada saat kecil inilah yang mendarah daging hingga Perguruan Tinggi.
Kebiasaan menyontek tidak serta merta bisa dimusnahkan begitu saja. Perlu penanaman karakter untuk menghilangkan kebiasaan yang tidak baik tersebut. Penanaman dengan lemah lembut dan penghapusan kebiasaan menyontek secara perlahan bisa secara menghilang secara kontinyu.
Di negara-negara maju, kebiasaan menyontek hampir jarang di temui. Hal ini dikarenakan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam soal bersifat objektif. Sehingga berbagai pertanyaannya bisa di jawab sesuai dengan pengetahuan yang di miliki oleh siswa tersebut.
Bisa di contoh, seperti beberapa kampus yang menerapkan larangan untuk menyontek. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), merupakan salah satu kampus yang menerapkan larangan untuk menyontek. Sekali ketahuan menyontek, maka langsung di Drop Out. Hal ini merupakan suatu metode pendidikan yang patut untuk dicontoh dan diterapkan di kampus lainnya. Metode ini bisa menciptakan lulusan yang berkompeten dan berkualitas.
Terlepas dari semua kasus yang menimpa alumni STAN, sistem pembelajaran seperti yang di terapkan di kampus yang menghasilkan abdi negara di bidang perpajakan ini sangat efektif untuk memusnahkan budaya menyontek. Tidak main-main, sanksinya bagi yang melanggar peraturan ini ialah di DO (Drop Out).
Jika semua kampus menerpakan sistem DO bagi yang menyontek, pasti 5 atau 10 tahun mendatang Indonesia akan memiliki generasi-generasi bangsa profesional dan amanah. Tidak hanya menjalankan tugasnya, melainkan ia mampu terhindar dari korupsi.
Budaya menyontek sesungguhnya merupakan akar budaya dari tindak korupsi. Mengapa demikian? Karena dari hal menyontek, seseorang akan di ajarkan untuk mendapatkan sesuatu yang di inginkan tanpa harus bekerja keras. Jika kebiasaan seperti ini di bawa hingga terjun ke dunia kerja nanti, bukan hal yang mustahil jika orang tersebut akan melakukan tindak korupsi.
Tindakan korupsi di Indonesia banyak terjadi karena penanaman karakter yang terlanjur salah di ajarkan ketika ia masih kecil. Sehingga orang yang bersangkutan akan mempelajari hal lain yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan sekitarnya baik, maka baik pula karakter yang dimiliki orang tersebut. Sebaliknya, jika karakter sekitar lingkungannya positif, maka orang tersebut akan terbawa positif juga.
Untuk menerapkan sistem pendidikan Indonesia yang bebas dari kegiatan menyontek, perlu suatu kerja sama yang solid antara semua kalangan. Bukan hanya tugas pemerintah, melainkan juga tugas kita semua dalam menjaga mutu pendidikan di Indonesia ini. Hal apa yang bisa kita lakukan? Bisa dengan membuat gerakan anti menyontek. Dengan adanya gerakan ini, kita bisa bekerja sama dan saling bersinergi untuk mewujudkan Indonesia yang cerdas tanpa menyontek.
Itulah tujuh fakta yang menyebabkan pendidikan di Indonesia berkurang. Sebagai generasi penerus bangsa sudah menjadi tugas kita dalam turut serat memajukan sistem mutu pendidikan di negeri ini. Kita ubah pola pemikiran yang bisa menyebabkan mutu pendidikan kita menjadi rendah.
Ada berbagai hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah sistem mutu pendidikan yang lebih baik di negeri kita ini. Yakni, dengan menanamkan nilai-nilai moral yang patut kita terapkan pada masa-masa anak usia emas, yakni masa-masa di Taman Kanak-Kanak (TK).
Image Credit |
Satu hal lagi yang lebih penting, pendidikan berkarakter merupakan acuan utama dalam sistem pendidikan di Indonesia ini. Pendidikan berkarakter akan mempermudah anak dalam mengembangkan bakatnya, sehingga dalam mempelajari suatu ilmu di sekolahnya, ia akan bisa menyerap pelajaran sesuai dengan daya minatnya.
Salam berkuliah.com!