Perkenalkan, namaku Lintang Anmi Ratri, cukup dipanggil Lintang. Aku berkuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, program studi Ilmu Hu...
Perkenalkan, namaku Lintang Anmi Ratri, cukup dipanggil Lintang. Aku berkuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, program studi Ilmu Hubungan Internasional semester 5. Sebelumnya tidak terpikirkan aku bisa mengunjungi kota Guangzhou di China daerah Selatan. Cerita dimulai dari ajakan teman kuliah yang menawarkanku program “Summer Camp and Study Tour” yang tertempel di papan pengumuman Pusat Pelatihan Bahasa di kampusku. Dalam pikiranku, aku tidak akan mungkin mengikuti program tersebut karena aku menyadari bahwa sama sekali tidak bisa dan sebelumnya belum pernah mengenal bahasa mandarin. Namun, setelah mempertimbangkan dengan orangtua tentunya, akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar program tersebut. Mengapa? Karena kesempatan tersebut merupakan kesempatan berharga bagiku yang tidak datang dua kali, yang belum pernah sama sekali berkunjung ke luar negeri. Lagipula, biaya yang ditawarkan sangat terjangkau karena program tersebut bekerja sama dengan “Overseas Chinese Affairs Office of State Council” dan “Overseas Chinese Affairs Office of Guangdong Provincial People’s Government”, maka sebagian biaya akan ditanggung pihak pemerintah Provinsi Guangdong.
Aku dan teman-teman rombongan yang sebagian besar berkuliah di kampusku mengikuti program ini sebagai anggota kontingen Yogyakarta untuk perwakilan Indonesia. Ada beberapa kota di Indonesia yang mempunyai kontingen sendiri, dan sesampainya di Guangzhou nantinya kami akan digabung. Kami wajib mempersiapkan nama Chinese kami yang akan dipakai selama kegiatan dan pencetakan sertifikat kegiatan. Jadilah namaku menjadi æž—ç³– (Lin Tang) yang mempunyai arti “Forest of Candy”. Menarik ya.
Kontingen Yogyakarta berangkat pada tanggal 22 Juli 2014. Saat itu kami berangkat dalam keadaan sedang melaksanakan puasa Ramadhan. Pada saatnya untuk berbuka puasa, kami masih berada dalam perjalanan udara, dan kami memutuskan untuk hanya membatalkan saja di dalam pesawat. Ini kali pertama untuk aku berbuka puasa dalam perjalanan udara, antara senang dan tegang bercampur. Kami transit di Kuala Lumpur, tepatnya di KLIA 2 pada pukul 19.30 waktu Malaysia. Aku dan sahabatku mengelilingi bandara dan hingga akhirnya kami penasaran dengan satu pintu yang mengahadap ke arah luar, kami masuk, dan voilla.. “Airplane Parking Area”. Pemandangan mengagumkan dengan latar gelapnya sekitar ditambah kerlap kerlip lampu pesawat yang diparkir berjajar rapi membuat kami kagum. Tiba saatnya kami melanjutkan perjalanan udara menuju Guangzhou pada dini hari sekitar pukul 03.00 waktu Malaysia.
Perjalanan menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam kami gunakan untuk beristirahat total. Matahari di Guangzhou menyambut rombongan kami yang mendarat di Baiyunport Guangzhou pada sekitar pukul 09.00 waktu setempat. 39° Celcius siap menemani kami selama 10 hari kedepan di Guangzhou. Kami menunggu bus yang bertugas menjemput rombongan kami, dan kami menuju tempat parkir bandara yang akses menujunya saja sudah menggunakan lift, semuanya canggih.
Perjalanan dimulai setelah bus rombongan kami datang menjemput. Kami menuju South China Normal University (SCNU) College of International Culture untuk mengambil seragam summer camp yang digunakan untuk 4 hari kedepan dimulai pada tanggal 23 Juli 2014 di kota Zhongshan. Bangunan SCNU sangat luas, dengan berbagai fakultas yang tersedia disana. Di samping tiap gedung fakultas, pasti ada asrama mahasiswa yang berbentuk seperti rumah susun atau apartment sederhana yang digunakan untuk tempat tinggal sementara mahasiswa yang berkuliah di SCNU.
Setelah menunggu, kami mendapatkan seragam summer camp yang terdiri dari 2 kaos warna kuning dengan logo singa kecil di sisi kanan atas kaos, dan topi putih dengan logo singa kecil yang sama, yang gambar tersebut merupakan logo dari “Guangdong Overseas Chinese Youth Summer Camp”, yang merupakan nama acara kami 4 hari kedepan. Lalu kami meninggalkan SCNU, dan melanjutkan perjalanan meuju Zhongshan untuk bergabung dengan rombongan yang berasal dari berbagai negara disana.
Di sepanjang perjalanan, aku mengamati jalanan di Guangzhou. Bersih dan tertata rapi, itu yang ada dalam pikiranku. Bunga-bunga kecil berwarna ungu sengaja ditanam dan tumbuh, serta dijaga untuk memperindah jalanan kota. Ada yang membuatku penasaran dengan gedung-gedung tinggi berjendela kaca di pinggir sepanjang jalan. Dan ternyata itu adalah tempat tinggal masyarakat Guangzhou. Struktur dan tatanan bangunan di kota Guangzhou berbeda dengan yang ada di Indonesia, khususnya di kota ku, Yogyakarta. Masyarakat Guangzhou tinggal di sejenis rumah susun, namun ada juga fasilitas yang setara dengan apartment. Di tiap kamarnya wajib dilengkapi minimal 1 buah Air Conditioner untuk sekadar mendinginkan area kamar, karena pada saat musim panas memang benar-benar dibutuhkan. Sangat berbeda, di Yogya pemukiman penduduk cenderung horizontal, dan membentuk perkampungan, tapi di Guangzhou pemukiman penduduknya mayoritas vertikal. 1 hal unik pertama yang aku temukan ketika berada di Guangzhou ini, sangat menarik bagiku untuk menemukan hal-hal unik lainnya disini.
Sesampainya di Zhongshan, kami menuju Dasin Bussiness Hotel untuk mengadakan welcome dinner dengan rombongan campers dari negara lain. Istilah campers ini artinya adalah anggota yang mengikuti summer camp. Dinner dengan standar bintang lima menyambut kami, dan kami menyadari bahwa kami adalah rombongan dengan anggota berkerudung terbanyak satu-satunya. Rombongan lain kagum pada kami, karena kami tetap berkerudung menutup daerah kepala dan menggunakan kaos lengan panjang pada saat musim panas yang dapat membuat gerah sewaktu-waktu. Disana perbedaan berbaur menjadi satu tanpa ada permusuhan atau saling cela, yang menghasilkan atmosfer kedamaian. Setelah welcome dinner ini, kami menuju ke Zhongshan City Stadium untuk mengadakan Opening Ceremony. Stadium tersebut megah, mirip seperti stadion-stadion yang ada di Indonesia namun ukurannya memang lebih besar. Opening ceremony berlangsung meriah dengan ditampilkannya berbagai atraksi hiburan khas Zhongshan yang menyambut kami dengan ramah dan menandakan bahwa acara ini resmi dibuka. Setelah opening ceremony selesai, kami kembali ke hotel untuk beristirahat.
Paginya kami menuju kota Zhuhai untuk berkegiatan disana, kami dibawa menuju Chimelong Ocean Park, yang mirip seperti gabungan antara Sea World dan Dunia Fantasi kalau di Indonesia. Disana ternyata kami harus menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh panitia summer camp yang ada kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan asli yang ada di tiongkok. Kami bertemu dan berfoto bersama pemeran Chinese Opera dengan colorful make-up dan kostum yang maksimal. Totalitas pemeran opera ditunjukkan dengan totalitas mereka dalam mempersiapkan segala perlengkapan dengan maksimal dan detil untuk menghibur penonton. Lalu aku juga sempat mencoba tari kipas yang terkenal di tiongkok. Di Chimelong, aku dan rombongan menyempatkan untuk menonton pertunjukan lumba-lumba, paus putih, dan mengunjungi beruang kutub serta pinguin yang ada disana. Sangat menarik dan terpuaskan. Setelah menyelesaikan tantangan kebudayaan tersebut, lalu ditukarkan dengan cinderamata khas Tiongkok. Taman bermain di Zhuhai tersebut sangat luas dan penuh oleh pengunjung. Tua dan muda semua menikmatinya, meski diiringi cuaca yang panas, 40° Celcius.
Hari kedua berakhir, lalu hari ketiga kami mengunjungi destinasi selanjutnya yaitu menuju ke “the Former Residence Dr. Sun Yat-sen”. Disana kami mengunjungi perkampungan yang dulunya merupakan kampung tempat tinggal Dr. Sun Yat-sen. Kami diperkenalkan oleh bangunan rumah asli tiongkok pada jaman dulu yang asri dan nyaman untuk ditinggali. Sekarang perkampungan itu ditata rapi menjadi seperti museum perkampungan yang menarik banyak pengunjung yang penasaran. Sawah dan ladang bunga teratai tumbuh subur disana, lalu ada taman bunga yang tumbuh indah dipandang dan aku tak mau melewatkan kesempatan untuk foto berlatar taman bunga itu. Selanjutnya kami berganti destinasi menuju Zhan’s Garden untuk melihat taman yang berisi pepohonan, dan tanaman, serta ada danau. Disana ada atraksi memanah, dan rombongan mendapat kesempatan untuk mencoba short course memanah dengan ahlinya. Sangat menarik dan menambah pengetahuan budaya Tiongkok.
Closing ceremony menandakan bahwa acara Summer Camp telah berakhir, namun tidak bagi rombongan dari Yogyakarta dan dari Reunion Island. Kalian pernah mendengar sebelumnya Reunion Island? Aku jujur belum pernah mendengarnya. Dari mereka, aku sekarang tahu dimana letak pulau mereka, yaitu dekat dengan Pulau Madagaskar, Afrika bagian selatan. Kami menjadi sangat dekat, karena setelah dari Zhongshan kami bersama menuju SCNU untuk melanjutkan kegiatan disana. Hampir 5 hari dihabiskan bersama di berbagai kegiatan. Mereka sangat ramah dan gampang berbaur dengan rombongan kami yang sudah tidak seumuran lagi dengan mereka. Kami bersenang-senang bersama, hingga bercerita bersama di salah satu kamar di asrama pada tengah malam tiba. Pengalaman yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi.
Kali ini aku akan berbagi pengalaman selama berkegiatan di SCNU selama 8 hari. Kegiatan di SCNU lebih bersifat mendalami kebudayaan Tiongkok secara semi-formal, seperti perkuliahan. Dari mulai praktik membuat paper cut atau seni menggunting kertas yang menghasilkan kerajinan yang belum pernah aku coba sebelumnya, lalu melukis topeng Chinese Opera dan segala karakternya – peran antagonis ataupun protagonis, dan membuat Chinese Caligraphy yang membutuhkan kreatifitas tinggi dalam mengontrol kuas yang dapat menghasilkan seni bernilai tinggi. Tak terlewat di kegiatan itu saja, namun kami juga diajarkan tarian tradisional khas China yang anggun dan perlu ke-lemah gemulai-an serta ketangkasan jika ingin mempraktikkan tarian tersebut karena tempo tarian itu cenderung lebih rancak dan berirama gembira. Lalu kami juga mempraktikkan seni bela diri yang terkenal khas Tiongkok yaitu “Wushu”, walaupun hanya 3 kali pertemuan saja itupun sudah cukup kami mengerti betapa kaya dan indahnya kebudayaan asli Tiongkok atau China ini yang sangat menarik untuk diketahui dan dipelajari.
Selain kegiatan-kegiatan formal diatas, kami–khususnya aku juga tidak melewatkan berbelanja dan mencari cinderamata atau oleh-oleh untuk keluarga di Yogyakarta. Di Guangzhou, tepatnya di tengah kota sudah berjajar mall megah dengan barang-barang branded yang harganya dari mulai sangat murah hingga sangat menguras uang saku. Namun, aku dan rombongan; dipandu oleh Laoshi (sebutan guru dalam bahasa mandarin) kami memutuskan untuk berbelanja di Beijing Road atau Beijing-Lu, dan Changsou-Lu. Kata Laoshi, sekalian mencoba alat transportasi umum yang mutakhir, bisa disebut MRT atau Mono-Rail Train. Menaiki MRT aku merasa berada di dalam mesin waktu.
Menuju stasiun MRT yang berada tak jauh dari luar kampus SCNU, turun tangga hingga sampai ke bawah tanah yang jika mengunjungi tempat itu, kalian tidak akan merasakan berada di bawah tanah. Kami dipandu Laoshi untuk membeli tiket naik MRT, ternyata sistem sudah menggunakan koin untuk dapat masuk ke MRT. Biaya yang dikeluarkan untuk menaiki MRT cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat, tenang, walaupun di dalam kereta suasana berjubel padat manusia, tapi tetap tidak merasakan gerah karena full AC, dan keadaan kereta juga bersih. Tak hanya itu, fasilitas yang penting adalah ketepatan dan kecepatan waktu atau on time. MRT ini digemari masyarakat Guangzhou sebagai transportasi yang digunakan untuk pulang pergi bekerja atau sekolah, atau hanya sekadar jalan jalan. Mereka mempunyai mobilitas dan jam edar yang tinggi dan padat, sehingga mewajibkan untuk memilih transportasi dengan fasilitas on time, dan dipilihlah MRT.
Jika kalian berkesempatan untuk mengunjungi Guangzhou, cobalah MRT, kalian akan merasakan ajaibnya kereta itu bekerja. Dengan sekali naik gerbong, kalian tidak dapat melihat keadaan luar. Dalam waktu kurang dari 10 menit, kalian akan dibawa menuju destinasi yang jaraknya berkilo-kilo meter dari tempat pertama tadi. Pemerintah Guangzhou mempersiapkan transportasi umum ini dengan sangat matang dan totalitas, untuk menyediakan permintaan masyarakatnya. Biaya MRT mulai dari ¥ 2 - ¥ 5 (kurs ¥ 1 = Rp 1.900,00) tergantung jauhnya destinasi.
Kami mengambil jurusan ke Beijing-Lu. Jika ingin mencoba MRT, pastikan kalian melihat rute di stasiun. Tujuannya agar kalian dapat mengerti nantinya akan naik gerbong jurusan mana dan transit dimana, serta harus pindah ke gerbong jurusan mana yang melewati destinasi kalian. Pertama kali, aku sempat bingung, namun setelah 3 kali mencoba MRT akhirnya juga lancar. Dan salah satunya, pengalaman aku mencoba naik MRT hanya berdua bersama sahabatku untuk membeli oleh-oleh beberapa jam sebelum kami meninggalkan Guangzhou untuk kembali ke Indonesia. Pengalaman menegangkan bercampur panik, karena jika tidak teliti, akan tersesat, entah samapi kapan. Dan untungnya kami berdua selamat sampai kembali ke SCNU.
Beijing-Lu merupakan nama jalan sekaligus nama pusat perbelanjaan dengan sistem counter-counter di sepanjang pinggir jalan. Jika di Yogyakarta mirip dengan Jalan Malioboro. Beragam cinderamata mulai dari gantungan kunci, gelang dan kalung giok berbagai kualitas, guci, tas-tas branded, hingga kaos, celana jeans, dan gaun pesta yang cute juga dijual berbagai macam di sepanjang Beijing-Lu. Ada tips sederhana nan menarik dari aku. Bagi kalian yang gila shopping, aku sarankan untuk jangan terburu-buru membeli barang yang kelihatannya lucu, cobalah kalian masuk ke toko dengan 1 harga all item. Di Beijing-Lu ada 1 toko yang terkenal, yaitu MINI-SO. Didalamnya segala macam keperluan sehari-hari dapat ditemukan dengan bentuk dan warna yang menarik. Mulai dari kosmetik hingga peralatan dapur semua ada dengan 1 harga yaitu ¥ 10. Hal ini dapat menghemat uang saku kalian serta menghemat waktu berbelanja karena tidak perlu berkeliling. Namun jika kalian punya banyak waktu di Guangzhou, lebih menyenangkan untuk mengelilingi Beijing-Lu dengan tidak terburu-buru karena disana semua menarik untuk dikunjungi.
Ada pengalaman lucu yang aku alami saat shopping di Beijing-Lu ketika ingin menawar harga gelang. Aku tidak mengerti bahasa Mandarin yang mencoba berkomunikasi dengan bahasa Inggris, namun pelayan toko tidak mengerti bahasa Inggris. Sempat bingung, tapi akhirnya aku mencoba untuk menggunakan kalkulator handphone, dan akhirnya deal harga. Saran lagi dari aku, jika ingin menawar harga, bawalah kalkulator, pelayan disana mayoritas tidak mahir berbahasa Inggris dan tidak mengerti isyarat tangan 1, 2, 3, seterusnya. Dan jika kalian ingin membeli sesuatu tanpa ribet, pilihlah yang tidak berdiskon, karena sistem diskon disana berbeda dengan sistem diskon di Indonesia, yang agak sedikit aneh jika tidak terbiasa. Perbedaan antara Beijing-Lu dengan Changsou-Lu terletak pada harga rata-rata barang yang dijual. Barang yang dijual di Beijing-Lu cenderung lebih mahal dan berkelas dibanding dengan Changsou-Lu. Kalian harus mencobanya sensasi shopping di negeri orang.
Pengalaman sangat berharga dan menyenangkan ketika aku berkesempatan untuk berkunjung dan tinggal sementara di negeri China yang kaya akan budaya apik dan diimbangi dengan perkembangan teknologi mutakhir yang telah diterapkan disana, serta keadaan kota yang bersih dan nyaman untuk pejalan kaki. Tali persahabatan antar 23 negarapun telah terjalin, dan kami mempunyai sahabat baru asal Reunion Island yang sangat dekat dengan kami. Pertemanan kami hingga sekarang tetap terjalin antar akun instagram. Tapi yang sangat disayangkan, aku sampai sekarang hanya dapat mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Mandarin.
Semoga di hari lain, aku ataupun kalian dapat berkesempatan untuk merasakan berinteraksi langsung dengan masyarakat luar negeri dan tinggal sementara di luar negeri, yang sekaligus menambah pengalaman bahasa kalian. Dan jangan lupa, saling bertukar cerita ya. Xie xie. Sampai Jumpa.
Aku dan teman-teman rombongan yang sebagian besar berkuliah di kampusku mengikuti program ini sebagai anggota kontingen Yogyakarta untuk perwakilan Indonesia. Ada beberapa kota di Indonesia yang mempunyai kontingen sendiri, dan sesampainya di Guangzhou nantinya kami akan digabung. Kami wajib mempersiapkan nama Chinese kami yang akan dipakai selama kegiatan dan pencetakan sertifikat kegiatan. Jadilah namaku menjadi æž—ç³– (Lin Tang) yang mempunyai arti “Forest of Candy”. Menarik ya.
Kontingen Yogyakarta berangkat pada tanggal 22 Juli 2014. Saat itu kami berangkat dalam keadaan sedang melaksanakan puasa Ramadhan. Pada saatnya untuk berbuka puasa, kami masih berada dalam perjalanan udara, dan kami memutuskan untuk hanya membatalkan saja di dalam pesawat. Ini kali pertama untuk aku berbuka puasa dalam perjalanan udara, antara senang dan tegang bercampur. Kami transit di Kuala Lumpur, tepatnya di KLIA 2 pada pukul 19.30 waktu Malaysia. Aku dan sahabatku mengelilingi bandara dan hingga akhirnya kami penasaran dengan satu pintu yang mengahadap ke arah luar, kami masuk, dan voilla.. “Airplane Parking Area”. Pemandangan mengagumkan dengan latar gelapnya sekitar ditambah kerlap kerlip lampu pesawat yang diparkir berjajar rapi membuat kami kagum. Tiba saatnya kami melanjutkan perjalanan udara menuju Guangzhou pada dini hari sekitar pukul 03.00 waktu Malaysia.
Perjalanan menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam kami gunakan untuk beristirahat total. Matahari di Guangzhou menyambut rombongan kami yang mendarat di Baiyunport Guangzhou pada sekitar pukul 09.00 waktu setempat. 39° Celcius siap menemani kami selama 10 hari kedepan di Guangzhou. Kami menunggu bus yang bertugas menjemput rombongan kami, dan kami menuju tempat parkir bandara yang akses menujunya saja sudah menggunakan lift, semuanya canggih.
Perjalanan dimulai setelah bus rombongan kami datang menjemput. Kami menuju South China Normal University (SCNU) College of International Culture untuk mengambil seragam summer camp yang digunakan untuk 4 hari kedepan dimulai pada tanggal 23 Juli 2014 di kota Zhongshan. Bangunan SCNU sangat luas, dengan berbagai fakultas yang tersedia disana. Di samping tiap gedung fakultas, pasti ada asrama mahasiswa yang berbentuk seperti rumah susun atau apartment sederhana yang digunakan untuk tempat tinggal sementara mahasiswa yang berkuliah di SCNU.
Setelah menunggu, kami mendapatkan seragam summer camp yang terdiri dari 2 kaos warna kuning dengan logo singa kecil di sisi kanan atas kaos, dan topi putih dengan logo singa kecil yang sama, yang gambar tersebut merupakan logo dari “Guangdong Overseas Chinese Youth Summer Camp”, yang merupakan nama acara kami 4 hari kedepan. Lalu kami meninggalkan SCNU, dan melanjutkan perjalanan meuju Zhongshan untuk bergabung dengan rombongan yang berasal dari berbagai negara disana.
Di sepanjang perjalanan, aku mengamati jalanan di Guangzhou. Bersih dan tertata rapi, itu yang ada dalam pikiranku. Bunga-bunga kecil berwarna ungu sengaja ditanam dan tumbuh, serta dijaga untuk memperindah jalanan kota. Ada yang membuatku penasaran dengan gedung-gedung tinggi berjendela kaca di pinggir sepanjang jalan. Dan ternyata itu adalah tempat tinggal masyarakat Guangzhou. Struktur dan tatanan bangunan di kota Guangzhou berbeda dengan yang ada di Indonesia, khususnya di kota ku, Yogyakarta. Masyarakat Guangzhou tinggal di sejenis rumah susun, namun ada juga fasilitas yang setara dengan apartment. Di tiap kamarnya wajib dilengkapi minimal 1 buah Air Conditioner untuk sekadar mendinginkan area kamar, karena pada saat musim panas memang benar-benar dibutuhkan. Sangat berbeda, di Yogya pemukiman penduduk cenderung horizontal, dan membentuk perkampungan, tapi di Guangzhou pemukiman penduduknya mayoritas vertikal. 1 hal unik pertama yang aku temukan ketika berada di Guangzhou ini, sangat menarik bagiku untuk menemukan hal-hal unik lainnya disini.
Sesampainya di Zhongshan, kami menuju Dasin Bussiness Hotel untuk mengadakan welcome dinner dengan rombongan campers dari negara lain. Istilah campers ini artinya adalah anggota yang mengikuti summer camp. Dinner dengan standar bintang lima menyambut kami, dan kami menyadari bahwa kami adalah rombongan dengan anggota berkerudung terbanyak satu-satunya. Rombongan lain kagum pada kami, karena kami tetap berkerudung menutup daerah kepala dan menggunakan kaos lengan panjang pada saat musim panas yang dapat membuat gerah sewaktu-waktu. Disana perbedaan berbaur menjadi satu tanpa ada permusuhan atau saling cela, yang menghasilkan atmosfer kedamaian. Setelah welcome dinner ini, kami menuju ke Zhongshan City Stadium untuk mengadakan Opening Ceremony. Stadium tersebut megah, mirip seperti stadion-stadion yang ada di Indonesia namun ukurannya memang lebih besar. Opening ceremony berlangsung meriah dengan ditampilkannya berbagai atraksi hiburan khas Zhongshan yang menyambut kami dengan ramah dan menandakan bahwa acara ini resmi dibuka. Setelah opening ceremony selesai, kami kembali ke hotel untuk beristirahat.
Paginya kami menuju kota Zhuhai untuk berkegiatan disana, kami dibawa menuju Chimelong Ocean Park, yang mirip seperti gabungan antara Sea World dan Dunia Fantasi kalau di Indonesia. Disana ternyata kami harus menyelesaikan tantangan yang diberikan oleh panitia summer camp yang ada kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan asli yang ada di tiongkok. Kami bertemu dan berfoto bersama pemeran Chinese Opera dengan colorful make-up dan kostum yang maksimal. Totalitas pemeran opera ditunjukkan dengan totalitas mereka dalam mempersiapkan segala perlengkapan dengan maksimal dan detil untuk menghibur penonton. Lalu aku juga sempat mencoba tari kipas yang terkenal di tiongkok. Di Chimelong, aku dan rombongan menyempatkan untuk menonton pertunjukan lumba-lumba, paus putih, dan mengunjungi beruang kutub serta pinguin yang ada disana. Sangat menarik dan terpuaskan. Setelah menyelesaikan tantangan kebudayaan tersebut, lalu ditukarkan dengan cinderamata khas Tiongkok. Taman bermain di Zhuhai tersebut sangat luas dan penuh oleh pengunjung. Tua dan muda semua menikmatinya, meski diiringi cuaca yang panas, 40° Celcius.
Hari kedua berakhir, lalu hari ketiga kami mengunjungi destinasi selanjutnya yaitu menuju ke “the Former Residence Dr. Sun Yat-sen”. Disana kami mengunjungi perkampungan yang dulunya merupakan kampung tempat tinggal Dr. Sun Yat-sen. Kami diperkenalkan oleh bangunan rumah asli tiongkok pada jaman dulu yang asri dan nyaman untuk ditinggali. Sekarang perkampungan itu ditata rapi menjadi seperti museum perkampungan yang menarik banyak pengunjung yang penasaran. Sawah dan ladang bunga teratai tumbuh subur disana, lalu ada taman bunga yang tumbuh indah dipandang dan aku tak mau melewatkan kesempatan untuk foto berlatar taman bunga itu. Selanjutnya kami berganti destinasi menuju Zhan’s Garden untuk melihat taman yang berisi pepohonan, dan tanaman, serta ada danau. Disana ada atraksi memanah, dan rombongan mendapat kesempatan untuk mencoba short course memanah dengan ahlinya. Sangat menarik dan menambah pengetahuan budaya Tiongkok.
Closing ceremony menandakan bahwa acara Summer Camp telah berakhir, namun tidak bagi rombongan dari Yogyakarta dan dari Reunion Island. Kalian pernah mendengar sebelumnya Reunion Island? Aku jujur belum pernah mendengarnya. Dari mereka, aku sekarang tahu dimana letak pulau mereka, yaitu dekat dengan Pulau Madagaskar, Afrika bagian selatan. Kami menjadi sangat dekat, karena setelah dari Zhongshan kami bersama menuju SCNU untuk melanjutkan kegiatan disana. Hampir 5 hari dihabiskan bersama di berbagai kegiatan. Mereka sangat ramah dan gampang berbaur dengan rombongan kami yang sudah tidak seumuran lagi dengan mereka. Kami bersenang-senang bersama, hingga bercerita bersama di salah satu kamar di asrama pada tengah malam tiba. Pengalaman yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi.
Kali ini aku akan berbagi pengalaman selama berkegiatan di SCNU selama 8 hari. Kegiatan di SCNU lebih bersifat mendalami kebudayaan Tiongkok secara semi-formal, seperti perkuliahan. Dari mulai praktik membuat paper cut atau seni menggunting kertas yang menghasilkan kerajinan yang belum pernah aku coba sebelumnya, lalu melukis topeng Chinese Opera dan segala karakternya – peran antagonis ataupun protagonis, dan membuat Chinese Caligraphy yang membutuhkan kreatifitas tinggi dalam mengontrol kuas yang dapat menghasilkan seni bernilai tinggi. Tak terlewat di kegiatan itu saja, namun kami juga diajarkan tarian tradisional khas China yang anggun dan perlu ke-lemah gemulai-an serta ketangkasan jika ingin mempraktikkan tarian tersebut karena tempo tarian itu cenderung lebih rancak dan berirama gembira. Lalu kami juga mempraktikkan seni bela diri yang terkenal khas Tiongkok yaitu “Wushu”, walaupun hanya 3 kali pertemuan saja itupun sudah cukup kami mengerti betapa kaya dan indahnya kebudayaan asli Tiongkok atau China ini yang sangat menarik untuk diketahui dan dipelajari.
Selain kegiatan-kegiatan formal diatas, kami–khususnya aku juga tidak melewatkan berbelanja dan mencari cinderamata atau oleh-oleh untuk keluarga di Yogyakarta. Di Guangzhou, tepatnya di tengah kota sudah berjajar mall megah dengan barang-barang branded yang harganya dari mulai sangat murah hingga sangat menguras uang saku. Namun, aku dan rombongan; dipandu oleh Laoshi (sebutan guru dalam bahasa mandarin) kami memutuskan untuk berbelanja di Beijing Road atau Beijing-Lu, dan Changsou-Lu. Kata Laoshi, sekalian mencoba alat transportasi umum yang mutakhir, bisa disebut MRT atau Mono-Rail Train. Menaiki MRT aku merasa berada di dalam mesin waktu.
Menuju stasiun MRT yang berada tak jauh dari luar kampus SCNU, turun tangga hingga sampai ke bawah tanah yang jika mengunjungi tempat itu, kalian tidak akan merasakan berada di bawah tanah. Kami dipandu Laoshi untuk membeli tiket naik MRT, ternyata sistem sudah menggunakan koin untuk dapat masuk ke MRT. Biaya yang dikeluarkan untuk menaiki MRT cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat, tenang, walaupun di dalam kereta suasana berjubel padat manusia, tapi tetap tidak merasakan gerah karena full AC, dan keadaan kereta juga bersih. Tak hanya itu, fasilitas yang penting adalah ketepatan dan kecepatan waktu atau on time. MRT ini digemari masyarakat Guangzhou sebagai transportasi yang digunakan untuk pulang pergi bekerja atau sekolah, atau hanya sekadar jalan jalan. Mereka mempunyai mobilitas dan jam edar yang tinggi dan padat, sehingga mewajibkan untuk memilih transportasi dengan fasilitas on time, dan dipilihlah MRT.
Jika kalian berkesempatan untuk mengunjungi Guangzhou, cobalah MRT, kalian akan merasakan ajaibnya kereta itu bekerja. Dengan sekali naik gerbong, kalian tidak dapat melihat keadaan luar. Dalam waktu kurang dari 10 menit, kalian akan dibawa menuju destinasi yang jaraknya berkilo-kilo meter dari tempat pertama tadi. Pemerintah Guangzhou mempersiapkan transportasi umum ini dengan sangat matang dan totalitas, untuk menyediakan permintaan masyarakatnya. Biaya MRT mulai dari ¥ 2 - ¥ 5 (kurs ¥ 1 = Rp 1.900,00) tergantung jauhnya destinasi.
Kami mengambil jurusan ke Beijing-Lu. Jika ingin mencoba MRT, pastikan kalian melihat rute di stasiun. Tujuannya agar kalian dapat mengerti nantinya akan naik gerbong jurusan mana dan transit dimana, serta harus pindah ke gerbong jurusan mana yang melewati destinasi kalian. Pertama kali, aku sempat bingung, namun setelah 3 kali mencoba MRT akhirnya juga lancar. Dan salah satunya, pengalaman aku mencoba naik MRT hanya berdua bersama sahabatku untuk membeli oleh-oleh beberapa jam sebelum kami meninggalkan Guangzhou untuk kembali ke Indonesia. Pengalaman menegangkan bercampur panik, karena jika tidak teliti, akan tersesat, entah samapi kapan. Dan untungnya kami berdua selamat sampai kembali ke SCNU.
Beijing-Lu merupakan nama jalan sekaligus nama pusat perbelanjaan dengan sistem counter-counter di sepanjang pinggir jalan. Jika di Yogyakarta mirip dengan Jalan Malioboro. Beragam cinderamata mulai dari gantungan kunci, gelang dan kalung giok berbagai kualitas, guci, tas-tas branded, hingga kaos, celana jeans, dan gaun pesta yang cute juga dijual berbagai macam di sepanjang Beijing-Lu. Ada tips sederhana nan menarik dari aku. Bagi kalian yang gila shopping, aku sarankan untuk jangan terburu-buru membeli barang yang kelihatannya lucu, cobalah kalian masuk ke toko dengan 1 harga all item. Di Beijing-Lu ada 1 toko yang terkenal, yaitu MINI-SO. Didalamnya segala macam keperluan sehari-hari dapat ditemukan dengan bentuk dan warna yang menarik. Mulai dari kosmetik hingga peralatan dapur semua ada dengan 1 harga yaitu ¥ 10. Hal ini dapat menghemat uang saku kalian serta menghemat waktu berbelanja karena tidak perlu berkeliling. Namun jika kalian punya banyak waktu di Guangzhou, lebih menyenangkan untuk mengelilingi Beijing-Lu dengan tidak terburu-buru karena disana semua menarik untuk dikunjungi.
Ada pengalaman lucu yang aku alami saat shopping di Beijing-Lu ketika ingin menawar harga gelang. Aku tidak mengerti bahasa Mandarin yang mencoba berkomunikasi dengan bahasa Inggris, namun pelayan toko tidak mengerti bahasa Inggris. Sempat bingung, tapi akhirnya aku mencoba untuk menggunakan kalkulator handphone, dan akhirnya deal harga. Saran lagi dari aku, jika ingin menawar harga, bawalah kalkulator, pelayan disana mayoritas tidak mahir berbahasa Inggris dan tidak mengerti isyarat tangan 1, 2, 3, seterusnya. Dan jika kalian ingin membeli sesuatu tanpa ribet, pilihlah yang tidak berdiskon, karena sistem diskon disana berbeda dengan sistem diskon di Indonesia, yang agak sedikit aneh jika tidak terbiasa. Perbedaan antara Beijing-Lu dengan Changsou-Lu terletak pada harga rata-rata barang yang dijual. Barang yang dijual di Beijing-Lu cenderung lebih mahal dan berkelas dibanding dengan Changsou-Lu. Kalian harus mencobanya sensasi shopping di negeri orang.
Pengalaman sangat berharga dan menyenangkan ketika aku berkesempatan untuk berkunjung dan tinggal sementara di negeri China yang kaya akan budaya apik dan diimbangi dengan perkembangan teknologi mutakhir yang telah diterapkan disana, serta keadaan kota yang bersih dan nyaman untuk pejalan kaki. Tali persahabatan antar 23 negarapun telah terjalin, dan kami mempunyai sahabat baru asal Reunion Island yang sangat dekat dengan kami. Pertemanan kami hingga sekarang tetap terjalin antar akun instagram. Tapi yang sangat disayangkan, aku sampai sekarang hanya dapat mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Mandarin.
Semoga di hari lain, aku ataupun kalian dapat berkesempatan untuk merasakan berinteraksi langsung dengan masyarakat luar negeri dan tinggal sementara di luar negeri, yang sekaligus menambah pengalaman bahasa kalian. Dan jangan lupa, saling bertukar cerita ya. Xie xie. Sampai Jumpa.