Halo Fira! Senang akhirnya punya kesempatan buat wawancara salah satu teman lama yang sekarang dapat kesempatan kuliah di luar negeri :...
Halo Fira!
Perjuangan Mendapatkan Beasiswa LPDP
Edinburgh salah satu
kota paling cantik yang pernah kulihat, dan kabarnya salah satu yang paling
menarik se-UK juga; jadi nge-ekplorasi kota ini ga ada bosennya! Kalau ke luar
kota, saya baru ke Leith dan Newcastle aja. Liburan natal besok yang insyaAllah
bakal lebih jauh eksplorasinya :)
Peran ‘memiliki pengalaman kuliah di luar negeri’ Untuk Dunia Kerja
Hmmmm… saya sebenernya pengen bilang “ga ada bedanya pernah kuliah di luar negeri atau dalam negeri” karena bukan berarti saya yang kuliah di luar negeri bisa lebih berkualitas dari temen yang karena berbagai pertimbangan memilih melanjutkan pendidikan di Indonesia. Tapi harus diakui, pandangan orang Indonesia akan ‘lulusan luar negeri’ masih ‘elit’ sehingga dipandang lebih mampu dan hebat sehingga pasti meningkatkan nilai jual diri pada waktu berkarya di dunia kerja; baik pada waktu seleksinya maupun waktu mengutarakan pendapat.
Senang akhirnya punya kesempatan buat wawancara salah satu teman lama
yang sekarang dapat kesempatan kuliah di luar negeri : )
Hai berkuliah.com. Saya
biasa dipanggil Fira, dari Syafira Fitri Auliya. Sebagian SD, SMP, dan SMA saya
lewatin di Yogya tapi waktu kuliah diusir Ibu ke luar kota, ga boleh kuliah di
Yogya, biar mandiri katanya. Sehingga saya menjalani sarjana di Teknik
Informatika ITB. Sekarang saya kuliah master di jurusan Science and Technology
in Society, School of Social and Political Science di University of Edinburgh,
UK.
Waktu SMA, saya
berkesempatan ikut OSN Komputer dan mengalami bahagianya bikin-bikin program di
komputer sehingga mengambil jurusan Teknik Informatika ITB. Saat masa kuliah,
seperti halnya semua orang, saya melalui masa pencarian jati diri sampai
akhirnya menemukan apa yang saya ingin lakukan di masa depan. Bahkan pada saat
sedang idealis-idealis-nya, saya pernah berkeinginan menjadi anggota DPR-RI
hehe sehingga melakukan internship di Sekretariat Jenderal MPR-RI dan tugas
akhir saya-pun tentang DPR-RI.
Tapi seiring berjalannya hari dan meningkatnya kesadaran akan kelebihan-kekurangan diri, saya memutuskan untuk di masa depan mengambil peran untuk berada di dalam lembaga eksekutif pemerintahan; lebih spesifiknya sebagai bagian pembuat kebijakan bidang teknologi karena saya suka banget mengaji berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan. Saya tertarik dalam bidang kebijakan karena percaya bahwa dengan kebijakan yang tepat, manfaat yang dirasakan oleh masyarakat akan sangat teramplifikasi :)
Tapi seiring berjalannya hari dan meningkatnya kesadaran akan kelebihan-kekurangan diri, saya memutuskan untuk di masa depan mengambil peran untuk berada di dalam lembaga eksekutif pemerintahan; lebih spesifiknya sebagai bagian pembuat kebijakan bidang teknologi karena saya suka banget mengaji berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan. Saya tertarik dalam bidang kebijakan karena percaya bahwa dengan kebijakan yang tepat, manfaat yang dirasakan oleh masyarakat akan sangat teramplifikasi :)
Namun berhubung berasal
dari jurusan teknik dan merasa masih sangat kurang dalam aspek non-teknikal
(kebijakan publik, human behaviors, pengaruh politik, ekonomi, dll) dalam
pengambilan kebijakan, maka saya butuh untuk melanjutkan pendidikan mempelajari
hal-hal tersebut. Alhamdulillah jurusan yang saya jalanin sekarang mengajarkan
itu.
Proses Awal Kuliah ke Luar Negeri
Seperti hampir semua
orang, proses hingga saya memulai perkuliahan di Edinburgh ga mulus begitu
saja. Saya awalnya berkeinginan (dan sudah dalam proses pendaftaran) untuk
melanjutkan kuliah di jurusan Ekonomi Pembangunan UGM, Yogyakarta. Tapi,
penasehat nomer satu saya, Ibu, merasa saya butuh untuk mencari ilmu di tempat
yang lebih jauh lagi. Setelah debat panjang lebar sama beliau, akhirnya saya
menyerah (karena restu orang tua nomer satu) dan setengah hati mengganti
rencana studi di luar negeri. Sebenernya kalau boleh jujur, alasan utama saya
tidak mau melanjutkan kuliah di luar adalah karena keterbatasan saya dalam
berbahasa Inggris. Bahasa Inggris selalu jadi ‘momok’ yang saya takuti dan
hindari hehehe (saya akan cerita lebih lengkap di bawah).
Singkat cerita, saya
mendaftar di tiga universitas yang menawarkan program studi yang saya butuhkan.
Informasi tentang mereka didapat dari konsultasi dengan teman di satu field,
senior di universitas yang sama, dan terutama rajin-rajin mencari di Google.
Alhamdulillah, tiga universitas tersebut yakni University of Edinburgh,
University of Manchester, dan University of Southampton memberikan
acceptance-nya walau University of Manchester (UoM) baru mengeluarkan
conditional acceptance karena nilai IELTS writing saya kurang 0.5 dari yang
mereka syaratkan. Padahal justru UoM yang jadi tujuan utama saya karena mata
kuliah yang mereka tawarkan paling linear dengan ilmu yang saya butuhkan.
Sehingga saya terus dan terus mengambil tes IELTS demi mencapai nilai writing
yang mereka minta.
Tapi ternyata, pada
percobaan keempat, saya dipaksa memahami bahwa walau usaha maksimal adalah
wajib, pada titik tertentu kita harus sadar bahwa ada tanda dari Tuhan kalau
mungkin “rezeki-ku bukan di sini”. Saya belajar untuk berhenti, sehingga akhirnya
mengambil tawaran dari University of Edinburgh (keputusan yang sama sekali
tidak saya sekali!).
Kalau ditanya mana yang
lebih penting: ranking universitas, negara, jurusan, atau beasiswa dalam
mencari universitas, saya bilang jawabannya “tergantung kebutuhan”. Saran saya
ke setiap orang akan berbeda tergantung circumstances dan apa yang dia tuju di
masa depan. Tapi generally saya akan bilang untuk jenjang master yang paling
penting adalah keterhubungan mata kuliah yang ditawarkan dengan ilmu yang kita
cari. Ranking universitas juga boleh jadi rujukan, tapi lebih utamakan ranking
fakultas atau jurusannya.
Perjuangan Mendapatkan Beasiswa LPDP
Fira bersama teman-temannya saat acara Persiapan Keberangkatan (PK) LPDP. Photo Credit by :Meita Aznira |
LPDP menjadi bagian
dari rezeki saya. Dari awal saya sadar
bahwa track-record akademik saya nggak sekinclong seharusnya (IPK lulus cuma 3.04,
syarat LPDP minimal 3.00), sehingga coba maksimalin di komponen lain. Alhamdulillah
selama kuliah saya punya beberapa pengalaman organisasi yang cukup bisa menjadi
daya tawar dan berhubungan dengan jurusan tujuan kuliah; tetapi hal itu aja ga terasa
cukup sebagai kompensasi IPK minim ini.
Berhubung bidang yang
akan saya geluti adalah bidang pemerintahan bagian kebijakan teknologi, saya
mencoba mencari pengalaman kerja di bagian tersebut. Saya hubungin senior
panutan saya, Kak Emil Fahmi Yakhya, yang bekerja di Dewan Smart City Kota
Bandung untuk menanyakan apakah ada peluang di sana. Saya dibawa Kak Emil untuk
rapat dan lain-lain di kegiatan Smart City tersebut hingga diikutkan di proyek
kajian Smart City Kota Bandung yang diadakan oleh BAPPEDA Kota Bandung. Setelah
itu, saya juga terlibat di kajian Infrastruktur TIK Kota Bandung yang diadakan
oleh Diskominfo Kota Bandung sehingga mendukung argumen kalau saya punya
pengalaman/pengetahuan di jurusan yang akan saya geluti.
Jadi, kalau udah sadar ada kelemahan yang ga bisa diapa-apain lagi (seperti IPK), kita ga punya hak buat males dan pasrah tanpa mengusahakan yang masih bisa kita kejar. Anyway, saya pernah menulis lebih panjang tentang kisah dan tips tes LPDP di blog www.herephy.wordpress.com.
Jadi, kalau udah sadar ada kelemahan yang ga bisa diapa-apain lagi (seperti IPK), kita ga punya hak buat males dan pasrah tanpa mengusahakan yang masih bisa kita kejar. Anyway, saya pernah menulis lebih panjang tentang kisah dan tips tes LPDP di blog www.herephy.wordpress.com.
TOEFL atau IELTS?
Saat mendaftar LPDP,
saya memakai TOEFL ITP karena murah hehe. Untuk pendaftaran universitas saya
memilih IELTS karena lebih nyaman berkomunikasi dengan manusia dibanding dengan
komputer seperti halnya TOEFL iBT.
Untuk mencapai skor ITP 550 yang disyaratkan LPDP, saya perlu dua kali tes. Metode belajar saya dengan memanggil guru privat selama seminggu dengan durasi setiap harinya selama delapan jam. Tes pertama saya mendapat 547. Berhubung hasil tes pertama tersebut super tanggung, sebelum tes kedua saya tiga hari berturut-turut ngambil prediction test dengan nilai 547, 565, dan 587. Hasil real real tes saya yang kedua 569.
Untuk mencapai skor ITP 550 yang disyaratkan LPDP, saya perlu dua kali tes. Metode belajar saya dengan memanggil guru privat selama seminggu dengan durasi setiap harinya selama delapan jam. Tes pertama saya mendapat 547. Berhubung hasil tes pertama tersebut super tanggung, sebelum tes kedua saya tiga hari berturut-turut ngambil prediction test dengan nilai 547, 565, dan 587. Hasil real real tes saya yang kedua 569.
Kalau IELTS, lebih gencar
perjuangannya. Saya les di tiga tempat: TBI Bandung kelas khusus IELTS, Real
English Yogya, dan memanggil guru privat untuk academic writing. Saya-pun
intensif belajar sendiri sampai sering jadi orang terakhir yang pulang dari
perpustakaan. *orang bodoh ga boleh males*
Hasil dari empat kali tes saya adalah Reading 9 – 9 – 8.5 – 7.5, Listening 6 – 6.5 – 6.5 – 6.5, Speaking 6 – 6 – 6 – 6, dan Writing 6 – 6 – 5.5 – 5.5. Sehingga overall saya dari tes pertama hingga keempat adalah: 7 – 7 – 6.5 – 6.5.
Pada saat tes pertama, saya kaget karena nilai yang didapat lebih tinggi dari ekspektasi. Begitupun setelah menerima hasil tes kedua masih optimis karena nilainya naik. Di test ketiga, saya sengajain datang ke Bandung karena percaya dengan selentingan bahwa B* Bandung ngasih nilai speaking dan writing lebih “baik hati” dibanding tempat lain (yang ternyata sama sekali ga terbukti haha).
Hasil dari empat kali tes saya adalah Reading 9 – 9 – 8.5 – 7.5, Listening 6 – 6.5 – 6.5 – 6.5, Speaking 6 – 6 – 6 – 6, dan Writing 6 – 6 – 5.5 – 5.5. Sehingga overall saya dari tes pertama hingga keempat adalah: 7 – 7 – 6.5 – 6.5.
Pada saat tes pertama, saya kaget karena nilai yang didapat lebih tinggi dari ekspektasi. Begitupun setelah menerima hasil tes kedua masih optimis karena nilainya naik. Di test ketiga, saya sengajain datang ke Bandung karena percaya dengan selentingan bahwa B* Bandung ngasih nilai speaking dan writing lebih “baik hati” dibanding tempat lain (yang ternyata sama sekali ga terbukti haha).
Setelah melihat hasil tes
keempat, saya berada di persimpangan: antara mencoba lagi demi mencapai nilai
writing yang kubutuhkan atau tersadar bahwa, setelah mengusahakan usaha
maksimal yang saya bisa, inilah saatnya saya disuruh berhenti sama Allah.
Setelah perenungan dan diskusi, saya memilih opsi kedua. Kalau boleh jujur,
saya belum pernah mengalami harus memilih Plan B untuk pendidikan jadi awalnya
ada protes-protes ke Yang Maha Merencanakan “kok saya ga dapet apa yang saya mau sih Tuhan? Kan udah usaha
maksimal!”, tapi ternyata setelah dijalani selama dua bulan di Edinburgh,
saya bersyukur telah memilih opsi ini :)
Tahapan Paling Menantang
BAHASA! Seperti yang saya sebut di atas, saya sebenernya takut sama bahasa Inggris. Ini juga jadi salah satu alasan saya kuliah di Edinburgh sih. Kalau breaking my limit ga usah tanggung-tanggung sekalian di kota dengan aksen Inggris kental aja.
Walaupun saya ga berhasil, bukan berarti ikhtiar test berkali-kali itu selalu sia-sia. Semua temen seperjuangan saya yang test 4-5 kali berhasil kok mencapai nilai incaran mereka. Dua orang temen berhasil menaikkan speaking dan writing dari 6.0 menjadi 6.5 dengan empat kali usaha. Bahkan ada temen berhasil naikin writing dari 4.5 jadi 8.0 dan speaking 5.0 jadi 7.0 dengan lima percobaan. Don’t worry.
Tahapan Paling Menantang
BAHASA! Seperti yang saya sebut di atas, saya sebenernya takut sama bahasa Inggris. Ini juga jadi salah satu alasan saya kuliah di Edinburgh sih. Kalau breaking my limit ga usah tanggung-tanggung sekalian di kota dengan aksen Inggris kental aja.
Fira dan teman-temannya selepas solat Iedul Adha di Edinburgh
Photo Credit: Christie Ruslim
|
Cara Beradaptasi Versi Fira!
Setelah berusaha
mempersiapkan apa yang bisa kita siapkan, cuma satu yang bisa dilakuin: jalani
aja. Kondisi saya agak unik sebenernya karena dari jurusan teknik lompat ke
jurusan political and social science sehingga
banyak banget pola pikir dan pengetahuan yang perlu saya kejar. Tapi ternyata
sampai saat ini, saya masih merasa baik-baik aja walaupun usaha pastinya lebih
keras dibanding saat kuliah sarjana.
Kalau lagi ada kesulitan ada temen-temen Indonesia, flatmates mahasiswa internasional, maupun temen-temen sejurusan yang bisa dimintain bantuan. Seperti pada saat terserang measles (campak) di sini, saya diisolasi ga boleh berinteraksi dengan orang lain selama sekitar seminggu sehingga bahkan ke dapur untuk membuat makanan-pun ga bisa. Pada saat itu, temen-temen bergiliran dateng ke flat nganterin makanan di depan pintu kamar.
Beda dengan waktu S1 yang hampir ga pernah baca, apalagi beli, buku cetak, di sini saya harus membaca paper/buku hingga 200 halaman perhari. Di hari-hari awal, tentu keteteran. Tapi sekarang (1,5 bulan setelah mulai kuliah) udah mulai bisa ngebikin ritmenya kok. Saya udah bisa memperkirakan kecepatan baca dan kapan harus ngebagi waktu untuk baca paper-nulis essay-kegiatan sosial-dan target pribadi lainnya. Saya biasa tidur cepat di sini, sekitar jam 22 udah tidur, supaya bisa bangun jam 3 pagi karena otak saya paling bekerja di jam-jam segitu.Tantangan lain adalah diskusi kelas, karena mata kuliah – mata kuliah yang saya ambil formatnya student oriented jadi pasti ada satu jam waktu untuk waktu diskusi. Naah sebagai orang ber-speaking-listening minimum, udah biasa banget waktu berbicara saya dikomentari “sorry? What do you mean?” “can you repeat it again?”. Bahkan kalau lagi diskusi dengan native yang logatnya kental (dan ngomongnya cepeeet banget berasa satu paragraf ngomong tanpa narik nafas), saya sering cuma bisa ketawa dan sok tau bilang “oh yeah I agree” karena ga nangkep mereka bilang apa (terus diliatin dengan aneh karena jawaban saya ternyata ga nyambung hahahaha).
Kalau lagi ada kesulitan ada temen-temen Indonesia, flatmates mahasiswa internasional, maupun temen-temen sejurusan yang bisa dimintain bantuan. Seperti pada saat terserang measles (campak) di sini, saya diisolasi ga boleh berinteraksi dengan orang lain selama sekitar seminggu sehingga bahkan ke dapur untuk membuat makanan-pun ga bisa. Pada saat itu, temen-temen bergiliran dateng ke flat nganterin makanan di depan pintu kamar.
Karakter Mahasiswa Internasional
Temen-temen sekelas saya
ada yang udah pernah ngambil master empat kali, ada yang udah pengalaman kerja
puluhan tahun, ada yang lulusan universitas lima besar dunia, bahkan ada yang
seusia Bapak saya. Tapi mereka baik-baik banget. Mereka tau kalau kemampuan
bahasaku terbatas, jadi bersabar nunggu sampai saya selesai ngomong. Kalau
ngobrol, mereka juga sengaja pelanin kecepatannya. Jadinya, saya udah masa bodoh
sama ketidakmampuan bahasa ini. Yang penting berusaha ngomong, karena mereka
menghargai itu. Walau sering kali yang saya bicarakan tak terlalu berbobot karena
kemampuan critical thinking juga kalah, saya udah ga peduli. Namanya aja lagi
belajar.
Mahasiswa di sini juga sangat menghargai perbedaan. Setelah saya jelasin kalau ga makan daging non-halal, setiap kali makan mereka ngajaknya ke restoran halal/for vegetarian. Berhubung saya satu-satunya orang Islam di jurusan, mereka juga sering nanya-nanya tentang Islam ke saya. Sayangnya, saya terlewat untuk memperdalam pengetahuan agama sebelum berangkat jadi banyak pertanyaan mereka ga belom bisa dijawab dengan memuaskan. Seperti saat ngebahas fenomena intersex people, saya ga bisa ngasih jawaban gimana agama Islam menyikapi fenomena ini.
Mahasiswa di sini juga sangat menghargai perbedaan. Setelah saya jelasin kalau ga makan daging non-halal, setiap kali makan mereka ngajaknya ke restoran halal/for vegetarian. Berhubung saya satu-satunya orang Islam di jurusan, mereka juga sering nanya-nanya tentang Islam ke saya. Sayangnya, saya terlewat untuk memperdalam pengetahuan agama sebelum berangkat jadi banyak pertanyaan mereka ga belom bisa dijawab dengan memuaskan. Seperti saat ngebahas fenomena intersex people, saya ga bisa ngasih jawaban gimana agama Islam menyikapi fenomena ini.
Fira bersama teman-teman PPI Edinburgh di hari batik.
Photo Credit: Christie Ruslim
|
Akomodasi dan Biaya Hidup
Kalau untuk saya yang enggan ribet ngurus bills dan enggan menempuh jarak jauh dari kampus, lebih baik pilih student accommodation. Harga memang lebih mahal, tapi menurut saya totally worth it karena sudah termasuk segala tagihan, shared-kitchen beserta peralatannya yang dibersihin setiap minggu, kamar mandi dalam yang dibersihin setiap dua minggu, dan setiap ada masalah dengan fasilitas flat tinggal hubungin pihak pengelola. Untuk memesan student accommodation, lakuin jauh-jauh hari karena di bulan-bulan mendekati September pasti udah penuh. Saya sendiri dapet akomodasi pilihan keempat karena baru apply sekitar bulan Juni.
Kalau untuk saya yang enggan ribet ngurus bills dan enggan menempuh jarak jauh dari kampus, lebih baik pilih student accommodation. Harga memang lebih mahal, tapi menurut saya totally worth it karena sudah termasuk segala tagihan, shared-kitchen beserta peralatannya yang dibersihin setiap minggu, kamar mandi dalam yang dibersihin setiap dua minggu, dan setiap ada masalah dengan fasilitas flat tinggal hubungin pihak pengelola. Untuk memesan student accommodation, lakuin jauh-jauh hari karena di bulan-bulan mendekati September pasti udah penuh. Saya sendiri dapet akomodasi pilihan keempat karena baru apply sekitar bulan Juni.
Tapi kalau memang
tertantang untuk hidup seperti penduduk lokal, belajar ngurus bills, dan ga
keberatan dengan jarak tempuh lebih jauh demi menabung maka private accommodation
bisa jadi pilihan. Cara pemesanannya bisa dengan cek di website seperti http://www.rightmove.co.uk dan begitu ada yang menarik hati lanjutkan komunikasi dengan
landlord-nya. Jangan lupa hati-hati kalau lagi komunikasi gitu, pastiin si
landlord-nya valid dan bukan scamming.
Harga akomodasi normal untuk di Edinburgh sekitar £350 – £600 perbulan. Akomodasi. Saya mengeluarkan £550 sebulan untuk akomodasi. Berdasarkan catatan pengeluaran (saya nyatat pakai aplikasi “Money Lover” di HP, cobain deh!), pengeluaran lain yang signifikan di bulan kemarin adalah makanan (termasuk makan di restoran dan beli bahan masakan) £130.29, transportasi £11, pulsa HP £10, dan keperluan akademik (beli buku dkk) £101. Pihak universitas juga ngasih estimasi living cost bagi student yang bisa dilihat di sini (http://www.ed.ac.uk/studying/international/finance/cost-of-living)
Pemasukan Tambahan
Kontrak yang kami tanda tangani ga membolehkan penerima beasiswa LPDP untuk bekerja selain pekerjaan yang berhubungan dengan akademik sehingga kami ga bisa mencari pemasukan tambahan dari pekerjaan seperti di restoran. Tapi, temen-temen yang sponsornya ga melarang bisa dapat pemasukan tambahan dengan menjadi partisipan di research atau jadi contributor di media kampus. Renumerasi yang didapat, kalau rajin, lumayan bisa nutupin biaya makan :)
Kontrak yang kami tanda tangani ga membolehkan penerima beasiswa LPDP untuk bekerja selain pekerjaan yang berhubungan dengan akademik sehingga kami ga bisa mencari pemasukan tambahan dari pekerjaan seperti di restoran. Tapi, temen-temen yang sponsornya ga melarang bisa dapat pemasukan tambahan dengan menjadi partisipan di research atau jadi contributor di media kampus. Renumerasi yang didapat, kalau rajin, lumayan bisa nutupin biaya makan :)
Kalau Kangen Indonesia
Masakan simple seperti bakwan jagung + sambal bawang, mie jawa, atau tempe mendoan masih bisa masak sendiri karena bahannya juga tersedia. Tapi kalau untuk makanan yang persiapannya ribet seperti pempek atau gudeg, kami biasanya pesen dari Tante Didi. Beliau buka jasa katering makanan Indonesia dan makanannya enak-enak banget. Selain dari beliau, pada saat acara PPI UK yang besar seperti Nusantara Cup di Newcastle kemarin juga banyak banget stand makanan Indonesia yang ngejual dari pempek sampai Sambal Bu Rudy.
Masakan simple seperti bakwan jagung + sambal bawang, mie jawa, atau tempe mendoan masih bisa masak sendiri karena bahannya juga tersedia. Tapi kalau untuk makanan yang persiapannya ribet seperti pempek atau gudeg, kami biasanya pesen dari Tante Didi. Beliau buka jasa katering makanan Indonesia dan makanannya enak-enak banget. Selain dari beliau, pada saat acara PPI UK yang besar seperti Nusantara Cup di Newcastle kemarin juga banyak banget stand makanan Indonesia yang ngejual dari pempek sampai Sambal Bu Rudy.
Kalau kangen dengan
orang-orang di Indonesa, saya biasanya memakai Skype, FaceTime, atau WhatsApp Call
dengan orang tua dan temen-temen. Tapi sejujurnya saya belum pernah ngerasain
home sick sih di sini; mungkin karena udah terbiasa merantau waktu kuliah di
Bandung. Walau komunikasi juga jarang karena perbedaan zona waktu, yang
terpenting saya tau kalau orang-orang penting saya baik-baik aja, dan mereka
juga tau kalau saya baik-baik aja.
Kegiatan di Luar Kuliah
Kalau untuk organisasi
formal, tidak sama sekali karena udah beda fokus hehe. Kegiatan lain di luar
akademik yang rutin cuma badmintonan seminggu dua kali, sosialisasi, dan
mengejar pencapaian-pencapaian pribadi lain yang udah jadi target saya. Selagi
masih kuliah dan punya jadwal yang lebih teratur dibandingin kalau kerja, banyak
hal yang pengen saya eksplor.
Traveling!
Photo Credit: Dana Lutfi Ilmansyah |
Peran ‘memiliki pengalaman kuliah di luar negeri’ Untuk Dunia Kerja
Hmmmm… saya sebenernya pengen bilang “ga ada bedanya pernah kuliah di luar negeri atau dalam negeri” karena bukan berarti saya yang kuliah di luar negeri bisa lebih berkualitas dari temen yang karena berbagai pertimbangan memilih melanjutkan pendidikan di Indonesia. Tapi harus diakui, pandangan orang Indonesia akan ‘lulusan luar negeri’ masih ‘elit’ sehingga dipandang lebih mampu dan hebat sehingga pasti meningkatkan nilai jual diri pada waktu berkarya di dunia kerja; baik pada waktu seleksinya maupun waktu mengutarakan pendapat.
Sebagai contoh; salah satu orang terdekat saya yang lulusan sarjana dan master
luar negeri direkrut sebagai jajaran eksekutif oleh perusahaan nasional
Indonesia selain karena kapabilitasnya tapi juga karena “titlenya sebagai
lulusan universitas luar negeri ternama” bisa dijual untuk menarik kepercayaan
investor ke perusahaan itu.
Kesan Terhadap Kuliah di Luar Negeri
Kesan Terhadap Kuliah di Luar Negeri
Banyak orang bilang setelah kuliah ke luar negeri jadi lebih percaya diri, tapi kalau menurut saya jangan sih kalau jadi
lebih percaya diri cuma karena kuliah di LN. Tapi kalau jadi merasa nambah ilmu
karena udah memahami buku, paper, artikel berjibun dan menulis essay-essay yang
dinilai “bagus” oleh dosen sini yang memang pelit nilai, itu pasti. Daya
analisa dan berpikir kritis juga harusnya meningkat karena dipaksa untuk selalu
mikir (ga cuma memahami) baik saat membaca, menulis, maupun berpendapat. Atau seminimal-minimalnya,
kemampuan bahasa Inggris meningkat jadi waktu punya anak bisa lebih fasih
ngajarin bahasa Inggris :D
Kecintaan dan optimisme saya akan
masa depan Indonesia ga berubah dari sejak tahun-tahun lalu sampai sekarang
(walau jadi lebih realistis). Tapi sekarang, berhubung berniat turut andil
masuk ke dalam sistem pemerintahan, saya jadi lebih tau apa yang perlu dilakukan
saat mendapat amanah membuat kebijakan. Plus bagusnya, iklim belajar di sini
membuat saya juga untuk selalu ‘merasa belum cukup ilmu’ karena dari satu
bacaan referensinya ke puluhan bacaan lain. Essay-essay saya juga selalu mendapat
feedback “referensi belum cukup” sehingga bikin ada keharusan terus dan terus
nambah ilmu.
Selain itu, tentunya saya juga
lebih jadi bisa menghargai perbedaan baik beda pendapat, beda culture, maupun
beda ideologis yang berimplikasi jadi lebih berusaha memperkuat ‘root’ yang
positif biar ga tergerus sama pengaruh lingkungan :)
Tips dan Trik Untuk Teman-teman yang Ingin Kuliah ke Luar Negeri!
1) Persiapkan bahasa sebaik-baiknya.
Tips dan Trik Untuk Teman-teman yang Ingin Kuliah ke Luar Negeri!
1) Persiapkan bahasa sebaik-baiknya.
2) Selagi masih merasa bisa ada jalan yang diusahain, ga perlu
banyak excuses dan langsung usahain.
3) Kalau udah ngusahain apa yang bisa kita
usahain tapi belom dikasih keberhasilan, coba berhenti sejenak dan cek: “jangan-jangan
ini tanda dari Tuhan kalau hal ini memang bukan rezeki kita?”. Pada saatnya,
kita bakal tau kok kapan perlu untuk berhenti, kapan perlu untuk terus berusaha
:) Rezeki ga akan tertukar dan Gusti Tuhan mboten sare jadi good luck!
Terima kasih banyak Fira sudah mau berbagi dengan berkuliah.com : )