Skor TOEFL saya 360 pada waktu semester satu di UGM. Entah mengapa, membaca tulisan berbahasa inggris selalu nampak blur, tulisan seak...
Skor TOEFL saya 360 pada waktu semester satu di UGM. Entah mengapa, membaca tulisan berbahasa inggris selalu nampak blur, tulisan seakan maju mundur (tapi tidak cantik kaya jargonnya syahrini), susah dibaca. Bisa dibilang English-phobia mungkin ya? Padahal text books dan PPT perkuliahan di Jurusan Mikro hampir semua dalam Bahasa Inggris. Jujur, waktu itu TIDAK MUDAH bagi saya untuk memahami slide demi slide kuliah dalam Bahasa Inggris. Jikalau bagi mahasiswa lulusan SMA (saya lulusan SMK) di jurusan saya bisa paham dalam 1-2 kali baca bahan ajar (ada yang skor TOEFLnya di atas 500) , bagi saya 3-5 kali baca, baru paham apa maksud yang ingin disampaikan, sambil MEMBUKA KAMUS tentunya. Keadaan ini memaksa saya untuk belajar Bahasa Inggris. Iya beneran MEMAKSA, karena pada awalnya saya benar-benar tidak suka, tapi kepepet harus bisa, TIDAK ADA pilihan.
Di tahun ketiga program S1, Pak Irfan dan Pak Donny, dosen favorit saya, meminta untuk mencoba mengikuti seleksi pertukaran mahasiswa dalam Program JENESYS ke Jepang. Dikenalkanlah ke dosen jurusan sebelah, yang mewawancarai sekaligus menunjukkan jalan bagaimana bisa ke Yamagata University. Saya berjanji pada diri sendiri untuk belajar Bahasa Inggris lebih rajin, baik diterima atau TIDAK dalam seleksi beasiswa 6 bulan tersebut. Waktu itu tidak ada persyaratan skor TOEFL untuk apply program ini, jadi aman lah, hanya wawancara dalam Bahasa Inggris, yang bisa dipelajari terlebih dahulu. Puji tuhan, setelah dinyatakan diterima, berangkatlah kami, empat orang wakil UGM selama 6 bulan belajar di Jepang. Merasa belajar sendiri TIDAK CUKUP untuk bekal ke LN, akhirnya memutuskan untuk les Bahasa Inggris, ELTI menjadi pilihan selama 1.5 bulan. Singkat cerita enam bulan berjalan dengan sangat indah dan tiba saatnya pulang kampung. Skor TOEFL naik satu digit depan, yeay! Tambah semangat belajar, mulai mencintai Bahasa Inggris, dengan menikmati proses belajarnya.
Lulus S1 tahun 2012, merasa belum puas dengan ilmu yang didapat, didorong dosen-dosen untuk apply beasiswa INPEX. Beasiswa dari International Petroleum Exploration Foundation Perusahaan minyak Jepang ini memberikan kesempatan ke 3 mahasiswa Indonesia untuk belajar S2 di Jepang, dan 3 mahasiswa Jepang untuk belajar di Indonesia. Tertulis syarat TOEFL pelamar adalah 550! Skor saya waktu itu MASIH JAUH dari 550, namun saya tulis bahwa saya mempunyai sedikit kemampuan Bahasa Jepang. Lagi-lagi Allah memberi kesempatan, mungkin saya dianggap AKAN (bukan sudah) MAMPU menyesuaikan dan MAU berkembang.
Tuhan sudah memilih, sudah menentukan, memberi kesempatan, kita harus MAKSIMALKAN. Nambah bekal dengan les Academic Writing di Cilacs UII, biaya les masih ngutang dulu waktu itu. Dua setengah tahun di Hokkaido, banyak cerita, suka duka, namun TETAP BAHAGIA. Semua tinggal bagaimana cara MENIKMATINYA, bukan? Berbekal sebuah kutipan “Dengan mengajar, kamu akan belajar”, sekaligus menjalankan PASSION di bidang mengajar dan public speaking, dipasrahi 7 kelas Bahasa Inggris. Mulai dari mengajar di Taman Bermain Kantor Kecamatan Tsukisamu; SLTP dan SLTA Hokurei (sekolah swasta terbaik di Pulau Hokkaido) sekaligus menjadi koordinator 10 pengajar, dari berbagai negara seperti USA, Kanada, India, Pakistan, Indonesia, Mesir dll; di ANT English School dengan murid dari umur 5 -66 tahun, sangat variatif; di Hello-sensei.com (suatu saat saya akan mengupas tentang peluang kerja part-time di sini) ; mengajar dua pegawai pemerintahan Provinsi Hokkaido; seorang mahasiswa S2 Jepang yang dalam proses mendaftar S3 Amerika dan seorang staf di Hokkaido University, tujuh tempat dalam satu waktu, menjelang sidang defense S2. TAK ADA yang berjalan dengan mudah waktu itu, mata lelah membagi waktu menyiapkan bahan ajar kelas bahasa, melakukan penelitian di lab yang selalu dipantau Profesor, menyiapkan presentasi progress report di lab, sekaligus mengikuti 7 organisasi di Jepang, dan mengikuti 7 kali seminar penelitian di dalam maupun luar jepang, bagi saya sangat tidak mudah, berat, iya. Namun karena saya benar-benar MENIKMATI setiap prosesnya, tetap merasa BAHAGIA.
Alhamdulillah jatuh-bangun, lari-lagi, suka-duka, lelah-semangat, terbalut dalam “Diari Pengalaman di Hokkaido” dan terbayar dengan ijazah S2 di bidang Environmental Molecular Biology dari Graduate School of Environmental Science, Hokkaido University.
Tujuh hal di atas termasuk yang mengantarkan saya mengikuti lomba di Massachusetts, USA Bulan Maret 2016 yang lalu. Berada di satu panggung dengan mahasiswa dari Harvard University, MIT, Stanford University, Princeton University, University of California dan University of Chicago yang termasuk Top 10 Universities in the World dalam lomba yang disponsori oleh President Bill Clinton membuat saya orang Imogiri, desa kecil di Jogja mengucap Alhamdulillah, QS. Ar-ra'd 11 bekerja sangat nyata. Walaupun belum berhasil membawa hadiah 1 juta US Dollar aka 13.5 M rupiah sebagai hadiah pemenang lomba ini, tapi sudah sangat alhamdulillah bisa merasakan spring di Boston. Kemudian kembali ke tanah air, siap mengabdi sesuai dengan passion yang sudah diasah di Negeri Sakura. Skor TOEFL juga ikut-ikutan bahagia, naik lagi satu digit depan, alhamdulillah, bisa buat daftar gawean.
Apa yang bisa DIAMBIL dari cerita saya? Hidup ini bisa dikategorikan menjadi dua hal, yaitu : Lakukan apa yang kita SUKAI, atau MENYUKAI apa yang kita lakukan. Kalau hal yang pertama, jelas lebih gampang dan ringan, karena kita melakukan hal yang enak dan disukai. Dalam cerita saya, saya mengajar di 7 kelas, aktif di 7 organisasi, dan seminar di 7 tempat, semua hal tersebut adalah hal yang menyenangkan dan saya sukai, tanpa PAKSAAN. Namun tidak semua pekerjaan bisa kita sukai bukan? Nah kalau yang ini, berarti kita harus MENCINTAI apa yang kita lakukan, awalnya mungkin dengan paksaan, namun pepatah mengatakan “Witing tresno jalaran seko kulino” lama-lama suka juga. Dalam cerita ini, yang dimaksud adalah belajar Bahasa Inggris. Awalnya saya benar-benar benci, tidak suka dan TERPAKSA belajar, karena butuh, lama-lama cinta juga, malah ketagihan hehe.
Entah mengapa cerita di atas banyak kaitannya dengan angka 7 ya? Selain itu saya juga menerima 7 beasiswa dari tahun 2008-2016, lagi-lagi angka TUJUH ya. Dalam Bahasa Jawa angka tujuh dibaca pitu, kalau kata Prof. Irfan mungkin artinya PITULUNGAN Gusti Allah dan orang-orang baik di sekitar saya, bisa jadi. Dalam bahasa Jepang, angka 7 termasuk angka keberuntungan. Mungkin juga ada kaitannya hehe.