“Glutinous rice flour? Is it a variation of rice flour?” Sara, teman sekelasku ingin tahu, ketika aku menjelaskan kepadanya tentang b...
“Glutinous rice flour? Is it a variation of rice flour?”
Sara, teman sekelasku ingin tahu, ketika aku menjelaskan kepadanya tentang bahan makanan yang sedang aku cari dari Saigon, toko produk Asia di mall Nordstan.
“Yes, it’s like rice flour but chewier, I think,” jawabku.
Sara mengangguk mengerti.
Pikiranku melayang sementara aku berjalan menyusuri koridor toko bersama Sara, yang mengikutiku ke Saigon untuk membeli Indomie (Tadinya dia penggemar ramen Jepang, tapi lalu aku racuni dengan Indomie).
Sudah hampir setengah tahun sejak aku menempuh lebih dari sepuluh ribu kilometer perjalanan dari Jakarta ke Gothenburg, Swedia, dalam rangka melanjutkan pendidikan ke jenjang Master. Dan sekarang disinilah aku, membeli tepung ketan, santan, gula kelapa, dan sejenisnya, bukan untuk tugas kuliah (tidak ada praktek memasak di jurusan Environmental Science), tapi demi membuat cemilan minum teh, atau biasa disebut Fika di Swedia.
“I’m jealous of your landlady, because she gets to taste your homemade snacks!” Sara berkomentar ketika kami berjalan keluar dari mall ke arah halte tram.
Aku tersenyum, “I can make some for you when we have a fika, Sara. I can’t guarantee the taste, though!”
“That would be lovely! Ooh, my tram is coming! See you next week, Lila!” Sara bergegas memasuki tram yang menuju ke arah tempat tinggalnya, sementara aku masih harus menunggu lima menit lagi sampai tramku datang.
Aku menggerak-gerakan kakiku untuk mengusir dingin. Bulan Februari seharusnya merupakan akhir dari musim dingin di Swedia, dan smartphone¬¬-ku menyatakan temperatur hari ini berada di sekitar 6 derajat celcius –cukup tinggi untuk ukuran negeri empat musim-. Tetapi karena Gothenburg berlokasi di dekat laut, kota ini cenderung berangin, sehingga sering kali cuaca terasa jauh lebih dingin daripada yang tertera di termometer.
Untungnya tramku datang sesuai dengan jadwal. Dengan segera aku naik dan mencari tempat duduk. Di dalam perjalanan, aku kembali mengecek resep Klepon yang sudah aku simpan di browser smartphone¬¬-ku.
Sebetulnya sepanjang hidupku di Indonesia, aku tidak terlalu sering memasak, apalagi membuat kue. Ada banyak sekali penjual makanan murah di Jatinangor, tempat aku menempuh S1 dulu, jadi aku tidak termotivasi untuk memasak sendiri. Paling banter aku merebus mie atau membuat nasi goreng kalau sedang malas keluar. Sementara disini, susah sekali mencari makanan jadi yang terjangkau, jadi lah aku harus memasak hampir setiap hari. Masih masakan yang mudah saja sebetulnya. Tumis sayuran, pasta, dan semacamnya.
Tapi sejak beberapa waktu lalu, aku jadi terpacu untuk belajar membuat kue tradisional....
***
Dua bulan pertamaku di Gothenburg bisa dibilang merupakan masa-masa ‘bulan madu’ yang menyenangkan. Aku merasa bisa cukup mengikuti perkuliahan, menikmati berjalan di antara gedung-gedung berasitekur khas Eropa, dan bahkan bermain di Liseberg, salah satu taman hiburan di Skandinavia, bersama teman-teman baruku. Mungkin aku merasa saatnya untuk bersenang-senang, setelah perjuangan panjang untuk bisa kuliah ke negeri viking ini (perjuangan yang mungkin bisa jadi lebih berat seandainya aku tidak membaca buku “Jurus Kuliah ke Luar Negeri” dari Inspira Book).
Akan tetapi memasuki bulan ketiga, aku mulai merasakan rindu kampung halaman. Tugas-tugas kuliah semakin banyak dan ujian tengah semester semakin dekat. Perbedaan waktu yang lumayan jauh membuat aku sulit menjadwalkan video call dengan keluarga di rumah dan sahabat dekatku yang sekarang bekerja di Jakarta. Di Gothenburg aku belum punya teman yang cukup dekat untuk curhat (aku belum kenal dekat dengan Sara, sementara itu Ningsih, teman sesama orang Indonesia yang kuliah di kampus sebelah, juga sama-sama sibuk di perkuliahannya).
Lalu suatu sore, ibu kos-ku Edith mengetuk pintu kamarku ketika aku tengah bergalau ria. Beliau mengajakku untuk Fika bersama di akhir pekan, “As a belated thanks to your coffee,” katanya. Aku memang memberikan kopi sebagai cendera mata untuk Edith saat pertama kali datang.
Saat itu aku sudah tahu bahwa Fika adalah tradisi yang sangat penting bagi orang Swedia. Fika adalah waktu khusus untuk minum kopi (ditemani camilan manis) bersama teman atau rekan kerja, biasanya dilakukan pada sore dan/atau pagi hari. Walaupun belum pernah Fika bersama Edith, aku mengiyakan ajakannya.
Agak lucu juga karena walaupun kami tinggal serumah, kami harus membuat janji terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu bersama-sama di hari lain. Memang begitulah orang Swedia, sangat teratur dan kurang spontan. Di lain pihak, jika sudah membuat janji, mereka pasti akan menepatinya, tidak ada yang namanya membatalkan di saat-saat terakhir, kecuali dalam kondisi sangat darurat.
Pada hari yang dijanjikan, ternyata Edith membuat sendiri kue untuk Fikanya. Ia membuat kladdkaka, kue coklat khas Swedia dengan bagian tengah yang agak cair, karena ternyata tanggal 7 November adalah hari kladdkaka nasional di Swedia. Aku berusaha mengingat-ingat resep dan cara membuatnya, siapa tahu nanti aku ingin membuat juga.
Aku pernah mencoba kue tersebut di salah satu gerai kafe di pusat kota, tapi menurutku kladdkaka buatan Edith jauh lebih enak. Atau mungkin aku agak bias. Edith tersenyum senang ketika aku memuji kuenya, lalu lanjut menanyakan bagaimana perasaanku sejauh ini tinggal di Gothenburg.
Alih-alih memberikan jawaban standar (‘Aku baik-baik saja!’), aku akhirnya menceritakan kegalauanku tentang perkuliahan dan kerinduanku pada rumah. Edith mengangguk-ngangguk paham, lalu menepuk tanganku setelah aku selesai bercerita. Ia memuji keberanianku untuk menempuh jarak ribuan kilometer demi kuliah, dan mengatakan wajar jika aku merasa galau. Ia lalu berkata bahwa selama di Swedia, aku bisa menganggapnya sebegai pengganti orang tua (pengganti nenek sebetulnya kalau dari segi usia).
Dengan manahan air mata haru, aku berterima kasih kepada Edith, yang dibalas dengan ucapan terima kasih dari beliau juga, karena aku sudah mau tinggal di rumahnya, mengurangi rasa kesepiannya. Edith, yang berumur 68 tahun, sudah lama bercerai dengan suaminya, sementara kedua anaknya tinggal di luar negeri. Kamar yang aku tempati adalah kamar Linnea, anak perempuannya yang tinggal di Norwegia.
Aku tercenung.
Sebetulnya, ngekos di rumah warga adalah pilihan terakhirku. Awalnya aku ingin sekali bisa tinggal di apartemen mahasiswa, yang bisa memungkinkan aku bertemu banyak mahasiswa lainnya. Sayangnya persaingan berebut kamar di Swedia ketat sekali, kita harus mengantri melalui situs penyewaan apartemen. Semakin lama waktu antrian sejak mendaftar, semakin besar kesempatan untuk mendapat apartemen yang diinginkan. Aku yang baru mendaftar empat bulan sebelum berangkat sudah tentu tidak mendapat jatah. Jadilah aku mencari alternatif lain, dengan menyewa kamar di rumah warga lokal. Sebelumnya aku pernah mendengar cerita macam-macam dari mahasiswa sini yang pernah mencoba kos juga. Banyak yang merasa tidak cocok dengan pemilik rumah yang mereka tumpangi. Ternyata ada juga pengecualiannya.
Edith dengan baik hatinya menyembutku di bandara Landvetter, yang berjarak sekitar empat puluh menit ke rumahnya. Sejak kedatanganku, interaksi kami cukup sopan walaupun terbatas pada ucapan selamat pagi dan malam ketika kami bertemu di dapur. Tak dinyana, Edithlah yang memecahkan ke-awkward-an kami dengan mengajakku Fika.
Setelah sesi curhat dengan Edith, keadaanku membaik. Ujian tengah semester dan ujian akhir berhasil kulalui dengan lancar. Aku pun menjadi dekat dengan Sara, teman sekelasku yang berasal dari Ulricehamn, kota kecil di dekat Gothenburg. Saat liburan musim dingin lalu, aku juga menyempatkan diri berlibur ke Helsinki dan Riga bersama Ningsih dan beberapa teman lainnya. Sementara itu, Edith sendiri cukup sibuk karena ia menghabiskan liburan musim dingin di Inggris, tempat anak keduanya bekerja.
Pulang dari liburan, kami kembali ke kesibukan masing-masing; Aku dengan perkuliahan semester kedua dan Edith dengan pekerjaannya sebagai guru bahasa Inggris di Svenska för invandrare, lembaga milik pemerintah yang mengajari bahasa Swedia (gratis!) untuk para pendatang.
Minggu lalu, aku mengajak Edith untuk Fika lagi besok Sabtu, dengan aku yang membuat cemilannya. Ia tampak senang, lalu berkata bahwa ia pun akan membawakan sesuatu.
Aku ingin mengenalkan Edith pada cemilan favoritku, klepon, walaupun belum pernah membuatnya. Mudah-mudahan rasanya enak dan cocok untuk seleranya!
***
“They are so pretty!”
Edith memuji klepon yang kuhidangkan di meja dapur. Ia tidak sempat melihatku memasak karena ada acara sejak pagi hingga siang, yang membuatku cukup lega, karena batch pertama kleponku agak gagal, gulanya bocor ketika direbus. Kue yang gagal itu sudah aku masukkan ke kantong sampah organik, jadi setidaknya tidak akan terlalu mubazir. Batch kedua, untungnya, cukup sukses.
Edith tampak menikmati klepon yang aku hidangkan, sambil sesekali menyesap kopinya.
Aku bercerita bahwa kue tradisional tersebut adalah cemilan yang selalu aku santap bersama keluarga. Edith berkata bahwa ia tidak heran jika aku menyukai cemilan tersebut, dengan teksturnya yang kenyal dan isi gula merahnya yang manis.
Edith pun mengatakan bahwa kladdkaka adalah cemilan favorit anak-anaknya. Ketika mengunjungi anaknya yang di Inggris, ia membuatkan kue tersebut. Obrolan kami berlanjut dengan cerita mengenai liburan musim dingin kemarin.
Ketika bercerita mengenai kesibukan masing-masing, aku menyadari bahwa kami sama-sama beraktivitas di lingkungan yang multi-kultur. 30 mahasiswa di jurusanku terdiri 13 kewarganegaraan. Sementara itu, kelas yang diajar Edith pun diisi orang-orang yang berasal dari 9 negara.
Aku mengungkapkan kekagumanku pada Edith, yang tampaknya sangat peduli pada para pendatang di Swedia, di tengah-tengah memanasnya sentimen anti pendatang.
“Diversity is important,” katanya. “If you don’t come to Sweden, for example… I won’t be able to taste this delicious cake!” Edith tersenyum sambil menunjuk klepon di piringnya.
Aku tergelak mendengar analogi yang diberikan, tapi sangat setuju dengan pernyataannya. Perkuliahanku juga terasa semakin kaya dengan adanya mahasiswa dari berbagai macam negara, karena kami bisa saling berbagi secara langsung bagaimana praktek perlindungan lingkungan di masing-masing negara.
Tak terasa, kami sudah menghabiskan klepon dan kopi yang disiapkan. Lagi-lagi, sesi mengobrol dengan Edith ini selalu insightful.
Sambil mencuci piring, Edith bertanya apakah aku bisa meluangkan waktu pada akhir bulan depan untuk sesi berikutnya.
Dengan senang hati aku menjawab bisa.
“Oh, and Gustav will visit me next month, so I am thinking to invite him to our Fika!” tambah Edith.
“Great, the more the merrier!”
Aku tersenyum, sementara otakku mulai memutar otak kira-kira kue apa yang akan aku buat berikutnya.
Penulis: Tanti Kosmiyati K
Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Pesta Karya Inspira 2017