Lavinia Disa Winona Araminta merupakan salah satu mahasiswa asal Indonesia yang berkuliah di New Zealand tepatnya di The University of Auck...
Lavinia Disa Winona Araminta merupakan salah satu mahasiswa asal Indonesia yang berkuliah di New Zealand tepatnya di The University of Auckland. Perempuan yang akrab disapa dengan nama Disa ini menempuh pendidikan Master of Arts in Applied Linguistics. Kuliah di negeri orang membuat Disa mendapatkan begitu banyak pengalaman berharga. Berikut ini Disa membagikan kisahnya kuliah di New Zealand kepada tim Berkuliah.com.
Halo, nama saya Lavinia Disa Winona Araminta asal dari Semarang dan tinggal di Depok saat di Indonesia. Saat ini saya kuliah di The University of Auckland, New Zealand mengambil Master of Arts in Applied Linguistics sejak Juli 2015.
Awalnya, kenapa saya bisa kuliah di NZ, karena saya pertama mendengar informasi soal S2 di NZ saat perwakilan kedutaan NZ di Indonesia datang ke kampus S1 saya, Universitas Indonesia, untuk presentasi soal pendidikan di NZ. Saya mulai tertarik dan setelah riset sana-sini saya semakin yakin untuk melanjutkan S2 ke NZ. Apalagi saat menulis skripsi saya banyak mengutip buku dan artikel seorang professor di sini. Ini adalah salah satu alasan mengapa saya memilih untuk berkuliah di Auckland.
Di NZ saya kuliah MA in Applied Lingusitics dekat dengan TESOL atau pelajaran Bahasa Inggris tetapi lebih luas. Misalnya, bagaimana peneliti mengutip karya orang lain di penelitian mereka, kesulitan non-native speakers dalam menggunakan Bahasa Inggris, dan bagaimana otak pembelajar mengingat kosa kata dalam Bahasa Inggris.
Fasilitas kampus
Sangat lengkap dan mendukung. Sebagai mahasiswa postgraduate, saya mendapat akses khusus ke Arts Postgraduate Lab. Di setiap lab biasanya selain komputer dan printer ada pantry kecil dimana mahasiswa bisa makan, memanaskan makanan dengan microwave atau membuat kopi. Selain itu karena saya tinggal di akomodasi kampus, saya mendapat akses internet gratis dan free membership untuk berolahraga di UoA Sports and Recreation Centre. Kampus saya terkadang menyelenggarakan acara refreshing untuk mahasiswanya seperti mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar Auckland dengan harga terjangkau yang sudah mencakup transportasi, tiket masuk, dan makan siang.
Karakter dosen dan tips kegiatan belajar mengajar
Mereka sangat detail saat mengajar. Poin-poin yang saya anggap tidak terlalu penting dibahas dalam diskusi di kelas dan ternyata sangat berguna karena saya terkadang mengabaikan detail-detail seperti itu. Tugas yang diberikan sebetulnya tidak sulit karena berupa essay kritis tapi standar penilaian mereka cukup tinggi. Apalagi untuk anak Arts atau Social Sciences lainnya, mendapat nilai A itu tidak mudah. Dekat dengan dosen sangat mudah karena mereka terbuka dengan kita. Tinggal email mereka jika ingin bertemu dan berdiskusi. Tetapi dekat dengan dosen tidak menjamin nilai bisa bagus. Kualitas tugas kita yang menentukan. Yang perlu dilakukan adalah mendengarkan apa yang dosen terangkan di kelas, selalu baca materi yang diminta, proaktif bertanya, dan mengerjakan tugas jauh-jauh hari supaya punya banyak waktu untuk mengoreksi, menambahkan, dan menajamkan analisis dalam essay kita.
Kegiatan di luar perkuliahan
Semester lalu sampai sekarang saya bergabung di UoA Glee Club karena saya memang suka menyanyi dan seni pertunjukkan in general. Kegiatannya ada pertunjukkan tahunan setiap bulan Oktober, latihan regular, menyanyi di panti jompo untuk program sosial kami, dan memenuhi undangan tampil. Desember lalu, 8 orang dari kami diundang tampil menyanyi di Attitude Awards, penghargaan untuk kaum difabel berprestasi di Auckland, yang disiarkan di TV nasional. Saya juga membantu Himpunan Umat Muslim Indonesia Auckland saat Islam Open Day 2015. Semester ini, selain Glee Club, saya bekerja paruh waktu sebagai Student Ambassador di kampus dan bergabung di PPI Auckland dalam Divisi Seni dan Budaya. April nanti PPI dan komunitas IDNZ akan menyelenggarakan acara budaya tahunan bernama Auckland Indonesia Festival. Selebihnya, saya hanya volunteer di Pop Up Globe Theater dan menghadiri acara networking di fakultas.
Buku dan keperluan belajar
Di kampus ada UBS yang menyediakan semua buku teks dengan harga murah. Saya juga dapat meminjam dari perpus kampus atau mendapatkan e-book karena akses dari kampus ke berbagai jurnal cukup lengkap sehingga saya jarang membeli buku.
Tempat tinggal di New Zealand
Saya tinggal di akomodasi kampus bernama Carlaw Park Student Village di Parnell, 15 menit jalan kaki dari kampus, bersama satu mahasiswa dari India dan satu dari Malaysia. Biayanya 228 NZD per minggu sudah all in, koneksi internet kampus, free membership untuk UoA Sports and Recreation Centre, dan fasilitas seperti music room, student room, common lounge, reception. Mahasiswa Indonesia biasanya sewa flat bersama di sekitar kampus.
Teman Dekat
Teman dekat asal NZ saya adalah anak-anak Glee Club. Mereka sangat supel dan welcome. Saya sempat jiper karena saya muslimah dan berjilbab sementara mereka bukan muslim (ada satu laki-laki muslim dari Mesir) tapi mereka sama sekali tidak mempertanyakan dan mendiskriminasi. Mungkin karena memang basis klub ini adalah musik sehingga sangat welcome terhadap siapapun.
Culture Shock
Sempat selama dua minggu bulan kedua di sini. Saya curhat ke teman Indonesia yang kuliah di Sydney yang mengalami hal yang sama. Saya sampai menangis sesenggukkan satu malam. Lalu saya baca artikel dan menonton video di YouTube tentang cara menghadapi culture shock. Ternyata yang saya hadapi bukan shock tapi lebih ke kangen keluarga di rumah. Cara mengatasinya adalah dengan menyibukkan diri dengan kuliah dan ikut kegiatan di luar kuliah. Dengan berkenalan dengan banyak orang dan mengunjungi tempat baru, lama-lama saya lupa dengan kangen sebelumnya.
Islam di New Zealand
Masjid tersedia di sini. Mushola di kampus UoA dan AUT juga ada tapi di tempat umum seperti mall dan restoran tidak ada muslim prayer space sehingga harus bisa menakar waktu dan sholat di rumah atau kosan teman.
Tempat favorit
Saya suka mengeksplor tempat-tempat yang belum saya kunjungi. Biasanya jauh-jauh hari saya memesan tiket bus promo yang hanya seharga $1 untuk pergi ke alam terbuka seperti Cathedral Cove dan Waiheke Island atau kota lain seperti Hamilton. Saya juga selalu menyempatkan menonton teater musical di sini yang jarang bisa saya tonton secara langsung di Indonesia seperti “The Phantom of the Opera”. Hal lain saat waktu luang adalah pergi ke Central City Library dan meminjam banyak buku. Saat libur panjang musim panas, perpus biasanya mengadakan Great Summer Read. Tahun ini saya ikut tantangan membacanya dan memenangkan tiket masuk untuk dua orang ke Auckland Zoo Open Lates.
Tentang Beasiswa LPDP
Ya, saya adalah penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Ini saya copy dari materi yang saya sampaikan ke komunitas pemburu beasiswa : Desember 2014, saya sudah lolos berkas beasiswa ini dan maju ke tahap wawancara. Namun saat itu saya tidak lolos. Januari 2015, beasiswa ini membuka seleksi lagi untuk gelombang pertama di tahun 2015. Saya ulangi lagi aplikasi saya mulai dari isi formulir, melampirkan ijazah (minimal IPK 3.0), melampirkan nilai IELTS (minimal overall 6.5 untuk studi di luar negeri), menulis 3 essay (sukses terbesar, kontribusi untuk Indonesia, dan rencana studi), surat rekomendasi (saya minta dosen sekaligus atasan saya karena kebetulan saya asisten dosen dan peneliti di FIB UI) dan surat izin belajar dari instansi (kalau sudah bekerja). Perbedaan aplikasi saat Desember 2014 dan Januari 2015 adalah sebelumnya saya belum mendapat Letter of Acceptance (baru turun H+1 wawancara LPDP) dan saya lampirkan di aplikasi 2015. Setelah lolos screening berkas, saya mendapat panggilan wawancara di bulan Februari 2015. Lokasinya di STAN, Bintaro untuk wilayah Jakarta. Di hari pertama, saya mengikuti Leaderless Group Discussion dimana saya dan kandidat lain dimasukkan dalam satu grup dan diminta membahas satu isu sosial selama 45 menit tanpa dikomandoi penilai. Artinya kami menentukan sendiri siapa yang jadi moderator dan peran-peran lainnya (diminta untuk menyampaikan pendapat dari perspektif pemerintah, NGO, akademisi, dll). Saat itu saya ditunjuk sekaligus menawarkan diri menjadi notulen dan topik diskusi adalah pesawat LCC. Hari berikutnya, saya menghadiri wawancara individu dengan 3 panelis. Pertanyaan yang diajukan seputar apa jurusan yang diambil, kampusnya dimana, mengapa ambil di sana (pertanyaan mengapa ini sering keluar jadi jawablah dengan jujur tapi diplomatis. Know the why sebelum mendaftar beasiswa), mengapa S2, mengapa di luar negeri, ingin riset tentang apa nanti, pengalaman organisasi hingga kondisi keluarga. Maret 2015 saya mendapat pengumuman kalau lolos beasiswa. Untuk beasiswa LPDP, tahapnya tidak sampai sini saja karena harus menghadiri PK (Persiapan Keberangkatan) selama seminggu untuk dibekali materi kepemimpinan, motivasi, dan teknis pencairan beasiswa. Oh ya, kalau mau tahu lebih lanjut soal beasiswa ini, teman-teman bisa baca-baca blog PK angkatan saya www.suryanara.org karena ada banyak sharing dari penerima LPDP angkatan saya.
Lifestyle in NZ
Karena bukan negara mayoritas muslim, gaya hidup yang berbeda adalah setiap Jumat mahasiswa atau muda-mudi biasanya berpesta sampai mabuk. Mantan flatmate saya dulu seorang mahasiswa lelaki yang tukang pesta dan mabuk. Karena tidak nyaman, saya pindah ke flat lain. Di sini pernikahan sesama jenis dilegalkan tapi gerakan LGBT paling hanya muncul selama Pride Week menjelang Valentine’s Day. Gaya hidup yang baik dicontoh adalah keteraturan saat menyeberang dan mengantri dan penumpang selalu mengucapkan terima kasih setiap turun dari bus kota.
Motivasi buat teman-teman Indonesia
Riset sebelum berkuliah dimanapun itu supaya mendapat gambaran jelas tentang negara dan program studi yang akan diambil. Luruskan niat. Jangan patah semangat jika belum berhasil di salah satu proses aplikasi. Selandia Baru adalah negara yang aman dan makmur dan kalian tidak akan menyesal memilih negara ini sebagai tujuan studi.
Reporter: Adelina Mayang
Halo, nama saya Lavinia Disa Winona Araminta asal dari Semarang dan tinggal di Depok saat di Indonesia. Saat ini saya kuliah di The University of Auckland, New Zealand mengambil Master of Arts in Applied Linguistics sejak Juli 2015.
Awalnya, kenapa saya bisa kuliah di NZ, karena saya pertama mendengar informasi soal S2 di NZ saat perwakilan kedutaan NZ di Indonesia datang ke kampus S1 saya, Universitas Indonesia, untuk presentasi soal pendidikan di NZ. Saya mulai tertarik dan setelah riset sana-sini saya semakin yakin untuk melanjutkan S2 ke NZ. Apalagi saat menulis skripsi saya banyak mengutip buku dan artikel seorang professor di sini. Ini adalah salah satu alasan mengapa saya memilih untuk berkuliah di Auckland.
Di NZ saya kuliah MA in Applied Lingusitics dekat dengan TESOL atau pelajaran Bahasa Inggris tetapi lebih luas. Misalnya, bagaimana peneliti mengutip karya orang lain di penelitian mereka, kesulitan non-native speakers dalam menggunakan Bahasa Inggris, dan bagaimana otak pembelajar mengingat kosa kata dalam Bahasa Inggris.
Fasilitas kampus
Sangat lengkap dan mendukung. Sebagai mahasiswa postgraduate, saya mendapat akses khusus ke Arts Postgraduate Lab. Di setiap lab biasanya selain komputer dan printer ada pantry kecil dimana mahasiswa bisa makan, memanaskan makanan dengan microwave atau membuat kopi. Selain itu karena saya tinggal di akomodasi kampus, saya mendapat akses internet gratis dan free membership untuk berolahraga di UoA Sports and Recreation Centre. Kampus saya terkadang menyelenggarakan acara refreshing untuk mahasiswanya seperti mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar Auckland dengan harga terjangkau yang sudah mencakup transportasi, tiket masuk, dan makan siang.
Karakter dosen dan tips kegiatan belajar mengajar
Mereka sangat detail saat mengajar. Poin-poin yang saya anggap tidak terlalu penting dibahas dalam diskusi di kelas dan ternyata sangat berguna karena saya terkadang mengabaikan detail-detail seperti itu. Tugas yang diberikan sebetulnya tidak sulit karena berupa essay kritis tapi standar penilaian mereka cukup tinggi. Apalagi untuk anak Arts atau Social Sciences lainnya, mendapat nilai A itu tidak mudah. Dekat dengan dosen sangat mudah karena mereka terbuka dengan kita. Tinggal email mereka jika ingin bertemu dan berdiskusi. Tetapi dekat dengan dosen tidak menjamin nilai bisa bagus. Kualitas tugas kita yang menentukan. Yang perlu dilakukan adalah mendengarkan apa yang dosen terangkan di kelas, selalu baca materi yang diminta, proaktif bertanya, dan mengerjakan tugas jauh-jauh hari supaya punya banyak waktu untuk mengoreksi, menambahkan, dan menajamkan analisis dalam essay kita.
Kegiatan di luar perkuliahan
Semester lalu sampai sekarang saya bergabung di UoA Glee Club karena saya memang suka menyanyi dan seni pertunjukkan in general. Kegiatannya ada pertunjukkan tahunan setiap bulan Oktober, latihan regular, menyanyi di panti jompo untuk program sosial kami, dan memenuhi undangan tampil. Desember lalu, 8 orang dari kami diundang tampil menyanyi di Attitude Awards, penghargaan untuk kaum difabel berprestasi di Auckland, yang disiarkan di TV nasional. Saya juga membantu Himpunan Umat Muslim Indonesia Auckland saat Islam Open Day 2015. Semester ini, selain Glee Club, saya bekerja paruh waktu sebagai Student Ambassador di kampus dan bergabung di PPI Auckland dalam Divisi Seni dan Budaya. April nanti PPI dan komunitas IDNZ akan menyelenggarakan acara budaya tahunan bernama Auckland Indonesia Festival. Selebihnya, saya hanya volunteer di Pop Up Globe Theater dan menghadiri acara networking di fakultas.
Buku dan keperluan belajar
Di kampus ada UBS yang menyediakan semua buku teks dengan harga murah. Saya juga dapat meminjam dari perpus kampus atau mendapatkan e-book karena akses dari kampus ke berbagai jurnal cukup lengkap sehingga saya jarang membeli buku.
Tempat tinggal di New Zealand
Saya tinggal di akomodasi kampus bernama Carlaw Park Student Village di Parnell, 15 menit jalan kaki dari kampus, bersama satu mahasiswa dari India dan satu dari Malaysia. Biayanya 228 NZD per minggu sudah all in, koneksi internet kampus, free membership untuk UoA Sports and Recreation Centre, dan fasilitas seperti music room, student room, common lounge, reception. Mahasiswa Indonesia biasanya sewa flat bersama di sekitar kampus.
Teman Dekat
Teman dekat asal NZ saya adalah anak-anak Glee Club. Mereka sangat supel dan welcome. Saya sempat jiper karena saya muslimah dan berjilbab sementara mereka bukan muslim (ada satu laki-laki muslim dari Mesir) tapi mereka sama sekali tidak mempertanyakan dan mendiskriminasi. Mungkin karena memang basis klub ini adalah musik sehingga sangat welcome terhadap siapapun.
Culture Shock
Sempat selama dua minggu bulan kedua di sini. Saya curhat ke teman Indonesia yang kuliah di Sydney yang mengalami hal yang sama. Saya sampai menangis sesenggukkan satu malam. Lalu saya baca artikel dan menonton video di YouTube tentang cara menghadapi culture shock. Ternyata yang saya hadapi bukan shock tapi lebih ke kangen keluarga di rumah. Cara mengatasinya adalah dengan menyibukkan diri dengan kuliah dan ikut kegiatan di luar kuliah. Dengan berkenalan dengan banyak orang dan mengunjungi tempat baru, lama-lama saya lupa dengan kangen sebelumnya.
Islam di New Zealand
Masjid tersedia di sini. Mushola di kampus UoA dan AUT juga ada tapi di tempat umum seperti mall dan restoran tidak ada muslim prayer space sehingga harus bisa menakar waktu dan sholat di rumah atau kosan teman.
Tempat favorit
Saya suka mengeksplor tempat-tempat yang belum saya kunjungi. Biasanya jauh-jauh hari saya memesan tiket bus promo yang hanya seharga $1 untuk pergi ke alam terbuka seperti Cathedral Cove dan Waiheke Island atau kota lain seperti Hamilton. Saya juga selalu menyempatkan menonton teater musical di sini yang jarang bisa saya tonton secara langsung di Indonesia seperti “The Phantom of the Opera”. Hal lain saat waktu luang adalah pergi ke Central City Library dan meminjam banyak buku. Saat libur panjang musim panas, perpus biasanya mengadakan Great Summer Read. Tahun ini saya ikut tantangan membacanya dan memenangkan tiket masuk untuk dua orang ke Auckland Zoo Open Lates.
Tentang Beasiswa LPDP
Ya, saya adalah penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Ini saya copy dari materi yang saya sampaikan ke komunitas pemburu beasiswa : Desember 2014, saya sudah lolos berkas beasiswa ini dan maju ke tahap wawancara. Namun saat itu saya tidak lolos. Januari 2015, beasiswa ini membuka seleksi lagi untuk gelombang pertama di tahun 2015. Saya ulangi lagi aplikasi saya mulai dari isi formulir, melampirkan ijazah (minimal IPK 3.0), melampirkan nilai IELTS (minimal overall 6.5 untuk studi di luar negeri), menulis 3 essay (sukses terbesar, kontribusi untuk Indonesia, dan rencana studi), surat rekomendasi (saya minta dosen sekaligus atasan saya karena kebetulan saya asisten dosen dan peneliti di FIB UI) dan surat izin belajar dari instansi (kalau sudah bekerja). Perbedaan aplikasi saat Desember 2014 dan Januari 2015 adalah sebelumnya saya belum mendapat Letter of Acceptance (baru turun H+1 wawancara LPDP) dan saya lampirkan di aplikasi 2015. Setelah lolos screening berkas, saya mendapat panggilan wawancara di bulan Februari 2015. Lokasinya di STAN, Bintaro untuk wilayah Jakarta. Di hari pertama, saya mengikuti Leaderless Group Discussion dimana saya dan kandidat lain dimasukkan dalam satu grup dan diminta membahas satu isu sosial selama 45 menit tanpa dikomandoi penilai. Artinya kami menentukan sendiri siapa yang jadi moderator dan peran-peran lainnya (diminta untuk menyampaikan pendapat dari perspektif pemerintah, NGO, akademisi, dll). Saat itu saya ditunjuk sekaligus menawarkan diri menjadi notulen dan topik diskusi adalah pesawat LCC. Hari berikutnya, saya menghadiri wawancara individu dengan 3 panelis. Pertanyaan yang diajukan seputar apa jurusan yang diambil, kampusnya dimana, mengapa ambil di sana (pertanyaan mengapa ini sering keluar jadi jawablah dengan jujur tapi diplomatis. Know the why sebelum mendaftar beasiswa), mengapa S2, mengapa di luar negeri, ingin riset tentang apa nanti, pengalaman organisasi hingga kondisi keluarga. Maret 2015 saya mendapat pengumuman kalau lolos beasiswa. Untuk beasiswa LPDP, tahapnya tidak sampai sini saja karena harus menghadiri PK (Persiapan Keberangkatan) selama seminggu untuk dibekali materi kepemimpinan, motivasi, dan teknis pencairan beasiswa. Oh ya, kalau mau tahu lebih lanjut soal beasiswa ini, teman-teman bisa baca-baca blog PK angkatan saya www.suryanara.org karena ada banyak sharing dari penerima LPDP angkatan saya.
Lifestyle in NZ
Karena bukan negara mayoritas muslim, gaya hidup yang berbeda adalah setiap Jumat mahasiswa atau muda-mudi biasanya berpesta sampai mabuk. Mantan flatmate saya dulu seorang mahasiswa lelaki yang tukang pesta dan mabuk. Karena tidak nyaman, saya pindah ke flat lain. Di sini pernikahan sesama jenis dilegalkan tapi gerakan LGBT paling hanya muncul selama Pride Week menjelang Valentine’s Day. Gaya hidup yang baik dicontoh adalah keteraturan saat menyeberang dan mengantri dan penumpang selalu mengucapkan terima kasih setiap turun dari bus kota.
Motivasi buat teman-teman Indonesia
Riset sebelum berkuliah dimanapun itu supaya mendapat gambaran jelas tentang negara dan program studi yang akan diambil. Luruskan niat. Jangan patah semangat jika belum berhasil di salah satu proses aplikasi. Selandia Baru adalah negara yang aman dan makmur dan kalian tidak akan menyesal memilih negara ini sebagai tujuan studi.
Reporter: Adelina Mayang